Sandang Predikat WTP di Tahun yang Menantang

1 Agustus 2021
OLEH: Dara Haspramudilla
Sandang Predikat WTP di Tahun yang Menantang
 

Setiap tahunnya, laporan keuangan yang dibuat oleh pemerintah pusat atau biasa disebut dengan LKPP diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tujuannya adalah memberikan pendapat/opini atas kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan. Di tengah kondisi berat akibat pandemi, LKPP 2020 masih meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK.

Opini yang diterbitkan BPK atas sebuah laporan keuangan adalah pendapat profesional atas kewajaran informasi yang disampaikan melalui laporan keuangan, dalam hal ini LKPP. Ada empat kriteria yang menjadi perhatian. Pertama, kesesuaian atas standar akuntansi pemerintah. Kedua, kecukupan pengungkapan. Ketiga, kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. Keempat adalah efektivitas sistem pengendalian intern.

LKPP 2020 merupakan konsolidasi dari 86 laporan keuangan kementerian/lembaga (LKKL) dan laporan keuangan bendahara umum negara (LK BUN). Dalam mendukung pemeriksaan atas LKPP 2020, BPK juga memeriksa 86 LKKL dan LK BUN, termasuk pemeriksaan pada tingkat kuasa pengguna anggaran BUN dan badan usaha operator belanja subsidi.

Oleh karena itu, ketika LKPP 2020 mendapatkan Opini WTP artinya bahwa LKPP 2020 telah disajikan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.

Apresiasi capaian LKPP 2020

Eko Listiyanto, Ekonom INDEF, memberikan apresiasinya untuk pemerintah yang bisa mempertahankan opini WTP di kala situasi tidak normal. Menurutnya, butuh upaya yang sangat serius dan sinergi yang baik antar instansi pemerintah.

“Sejauh yang saya tahu proses menghasilkan WTP dalam konteks LKPP ini tidaklah mudah. Stepnya banyak sekali. Jika ada temuan maka akan ada proses klarifikasi hingga hak jawab. Saya apresiasi capaian ini dan jika kita lihat juga semakin baik. Tidak ada lagi disclaimer dan itu yang mungkin membuat secara governance, publik semakin meyakini dan merasakan manfaat dari capaian ini,” tutur Eko.

Apresiasi juga disampaikan Mukhammad Misbakhun, anggota Komisi XI DPR. Dalam wawancaranya bersama TVR Parlemen. Misbakhun mengapresiasi capaian LKPP secara berkesinambungan sehingga memperoleh opini WTP.

Jaga komitmen kelola keuangan negara

Pencapaian ini juga menjadi bukti komitmen pemerintah dalam berupaya menjaga dan meningkatkan kualitas tata kelola keuangan negara. “Capaian ini membuktikan secara administrasi keuangan, aspek transparansi dan akuntabilitasnya terjaga. Meski tidak ada jaminan ketika WTP artinya tidak ada penyimpangan sama sekali. Namun setidaknya, proses akuntabilitas dengan adanya laporan keuangan rutin yang diawasi dan dinilai oleh BPK secara kontinu itu menggambarkan upaya untuk dapat mengelola anggaran secara efektif, efisien dan dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Eko. 

Selain itu, penguatan tata kelola keuangan pemerintah pusat menjadi perhatian Misbakhun. Ia menyampaikan pentingnya perbaikan prosedur tata kelola dan pelaporan dalam memperkuat mekanisme belanja APBN. Harapannya, pemerintah serius memperhatikan berbagai catatan BPK dalam rangka memperbaiki kinerja pemerintahan.

“Termasuk perbaikan prosedur, perbaikan tata kelola, dan perbaikan pelaporan. Itu adalah sebuah siklus tentang bagaimana prosedur, pelaksanaan tata kelola dan pelaporannya juga diperbaiki. Ini akan menjadi catatan yang penting dalam sebuah mekanisme kerja di pemerintahan dalam penggunaan belanja APBN” tambahnya.

Tindaklanjuti rekomendasi

Perolehan WTP di saat situasi pandemi merupakan sebuah capaian. Namun demikian, pemerintah dinilai masih memiliki ruang perbaikan yang perlu menjadi perhatian dalam melaporkan tata kelola keuangan.

Dalam penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP LKPP) Tahun 2020 Istana Negara, 25 Juni 2021, Ketua BPK, Agung Firman Sampurna menyampaikan masih ada sejumlah rekomendasi perbaikan dalam HP LKPP 2020 yang mencakup kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan dan peningkatan sistem pengendalian internal.

“Atas permasalahan yang dimuat laporan hasil pemeriksaan tersebut, kami merekomendasikan kepada pemerintah agar menindaklanjuti dengan melakukan perbaikan pengelolaan dan pertanggungjawaban APBN di tahun yang akan datang,” papar Agung

Menurut Misbakhun, permasalahan akan selalu ada. Namun dalam pandangannya, yang terpenting adalah hal ini bukan merupakan bentuk upaya menoleransi penyimpangan. DPR juga akan selalu mendorong pemerintah untuk meningkatkan tata kelola penggunaan APBN

“Temuan selalu ada. Bagaimanapun juga mengelola Rp2.700 triliun uang yang begitu besar, pasti ada hal-hal yang mungkin di luar perkiraan dan kemudian terjadi penyimpangan. Namun, yang pasti penyimpangan itu bukan sebuah upaya yang ditoleransi tetapi menjadi temuan. Dan itu menjadi concern bersama termasuk kita yang di DPR (untuk) selalu mengingatkan pemerintah bagaimana membangun tata kelola terhadap penggunaan APBN dalam belanja-belanja di kementerian dan lembaga,” terangnya dalam wawancara dengan TVR Parlemen.

Dorong percepatan realisasi

Dalam program penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PC-PEN), realisasi anggaran menjadi salah satu poin yang sebaiknya menjadi perhatian pemerintah. Menurut Eko, realisasi anggaran masih menjadi salah satu aspek yang dinilai masyarakat perlu dievaluasi. Menurut pandangannya, masih terdapat beberapa institusi pemerintahan yang realisasinya sangat rendah.

“Sebenarnya mungkin rendah bukan karena tidak mau menjalankan tetapi lebih karena kehati-hatian dalam menggunakan anggaran. Eksekusi anggaran ini yang perlu diakselerasi dengan tetap memperhatikan governancenya,” ucap ekonom berkaca mata ini.

Untuk mempercepat realisasi, Eko berpendapat ada tiga aspek yang bisa diperbaiki oleh pemerintah. Pertama, infiltrasi teknologi digital. Kedua, menggunakan intervensi regulasi. Ketiga, perbaikan di sisi manajerial.

“Infiltrasi teknologi digital diperlukan untuk akselerasi realisasi, tapi governance tetap terjaga. Contohnya adalah penggunaan QR Code untuk tanda tangan (berkas dokumen keuangan). Lalu, melalui intervensi regulasi seperti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 sehingga pemerintah diberikan kewenangan agar dapat lebih fleksibel dalam mengelola anggaran. Kita tahu bahwa sebelum ada UU tersebut, proses untuk perubahan APBN itu birokrasinya sangat panjang, apalagi proses politiknya. Terakhir, dari sisi manajerial, kalau di tahap ini lebih kepada melakukan evaluasi terhadap prosedur saat ini. Pemerintah dapat melihat potensi perbaikan yang bisa dilakukan misalnya bagaiamana agar bisa mempercepat proses pengadaan,” pungkasnya.