Menguntai Asa Melalui Inovasi Pendanaan Bencana

16 Maret 2022
OLEH: Dara Haspramudilla
Menguntai Asa Melalui Inovasi Pendanaan Bencana
 

Tahukah anda bahwa pada pekan pertama tahun ini, 1-8 Januari 2022, Indonesia sudah mengalami 68 kejadian bencana alam. Bahkan selama bulan Januari 2022, BMKG sudah mencatat telah terjadi 726 kali gempa bumi. Teranyar, dua hari lalu gempa mengguncang kawasan Pantai Selatan Nias Selatan. Gempa tektonik bermagnitudo M 6,9 yang getarannya terasa hingga Kota Padang dan Kota Solok, Sumatera Barat

Indonesia memang merupakan negara dengan potensi bencana alam yang sangat besar. Letak geografis Indonesia yang berada pada area cincin api Pasifik membuat risiko bencana di Indonesia tinggi dan tidak dapat diprediksi. Bahkan data World Risk Index Tahun 2020 juga menunjukkan posisi Indonesia yang berada pada peringkat ke-40 dari 181 negara rentan bencana.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sepanjang 2020 telah terjadi 2.925 kejadian bencana alam. Bencana alam hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin puting beliung, kekeringan serta kebakaran hutan dan lahan. Bahkan pada 2022 saja, sudah terjadi 68 kejadian bencana alam pada periode 1-8 Januari. Jika dilakukan konversi, secara frekuensi Indonesia dilanda 8 bencana dalam sehari, 56 bencana dalam satu minggu, dan 240 kali bencana dalam satu bulan.

Dari reaktif menjadi proaktif

Pemerintah pun menyadari betapa rentannya Indonesia terhadap bencana. Penanggulangan bencana di Indonesia semakin tahun pun semakin menantang dan bertambah kompleksitasnya. Hal ini disebabkan dari semakin beragamnya jenis, frekuensi serta dampak bencana yang terjadi baik dari aspek kemanusiaan maupun ekonomi.

“Selain bencana alam, kita juga tak jarang menghadapi bencana nonalam. Contohnya pandemi ini masuknya kategori bencana nonalam. Lalu bencana sosial akibat konflik antar kelompok masyarakat. Bencana-bencana tersebut tidak hanya memakan korban, tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi. Misalnya, gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh tahun 2004. Dahsyatnya bencana alam tersebut memakan korban jiwa sebanyak 230.000 jiwa dan dengan kerugian ekonomi yang dirasakan mencapai Rp51,4 triliun,” terang Nella Sri Hendriyetty, Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral (PKRB) BKF Kementerian Keuangan.

Dahsyatnya gempa dan tsunami Aceh pada 2004 pun memberikan hikmah, sejak saat itu pemerintah menyediakan dana cadangan bencana sebesar Rp5-10 triliun. Namun, strategi pendanaan risiko bencana yang dilakukan pemerintah masih bersifat reaktif di mana pendanaan risiko bencana ditanggung oleh APBN dan APBD. Ketika bencana besar terjadi dan biaya yang diperlukan lebih besar dari alokasi anggaran maka pemerintah harus melakukan relokasi anggaran. Tentu saja ini kemudian berdampak pada tertundanya program prioritas pemerintah yang lain.

“Setelah tahun 2019, pemerintah membangun alternatif dan inovasi pendanaan berkelanjutan dengan melibatkan sumber pendanaan di luar APBN dan APBD. Tujuannya agar Indonesia memiliki ketahanan fiskal atas risiko bencana. Selain itu, dari strategi proaktif ini kita juga melakukan mitigasi terhadap penanggulangan bencana sehingga bisa mengurangi kerugian jiwa maupun ekonomi,” tambah Nella.

Hal senada juga diutarakan oleh Yusuf Rendy Manilet, Ekonom CORE Indonesia. Menurutnya, melihat data kejadian bencana alam 2010-2019 di mana terjadi terjadi peningkatan bencana alam secara konsisten dan terukur sehingga perubahan pendekatan penanganan bencana juga perlu menyesuaikan.

“Perubahan pendekatan penanganan bencana dalam hal ini konteks pembiayaan sudah tak terhindarkan lagi memang harus berubah. Tidak hanya reaktif ketika bencana terjadi, tapi lebih proaktif dengan lebih awal memproyeksikan kira-kira bencana apa yang bisa terjadi dan bagaimana kebutuhan pembiayaan apabila bencana itu terjadi. Apalagi kalau kita kaitkan dengan climate change atau perubahan iklim yang kita rasakan sejauh ini.,” ujar Yusuf.

Tsunami Aceh pada 2004 memberikan hikmah bagi pemerintah dengan menyediakan dana cadangan bencana sebesar Rp5-10 triliun. Dok. Biro KLI

PFB memperkuat peran APBN dalam penanggulangan bencana

Salah satu instrumen sentral dari strategi proaktif ini adalah Dana Bersama Penanggulangan Bencana atau Pooling Fund Bencana (PFB). PFB merupakan wujud semangat gotong-royong dalam pembiayaan risiko bencana yang berfungsi ganda yakni menanggung dan memindahkan risiko bencana yang dihadapi pemerintah sebagai sumber pendanaan penanggulangan bencana yang melengkapi APBN.

“PFB menjadi kantong kedua Menteri Keuangan sebagai bendahara umum negara. Peran PFB krusial sebagai penguat alokasi dalam APBN atau APBD. Mekanisme pendanaan penanggulangan bencana pun menjadi lebih kuat karena sifatnya melengkapi dan mengakselerasi. Dalam jangka panjang, jika kapasitasnya sudah memadai dan dapat melakukan pendanaan mandiri, PFB diharapkan menjadi sumber utama pendanaan penanggulangan bencana,” tutur Nella menjelaskan.

PFB menjadi inovasi dalam melindungi keuangan negara. Dengan adanya PFB, risiko dari beban fiskal yang dihadapi APBN ketika terjadi bencana menjadi berkurang.

“Menurut perhitungan Bank Dunia, investasi sebesar USD1 untuk kegiatan pengurangan risiko bencana di masa pra bencana akan menghemat biaya penanggulangan bencana sebesar USD4-7. Artinya investasi di masa pra bencana menjadi penting. Dan berkaitan dengan fiskal, kita juga tahu bahwa ruang belanja cukup ketat sehingga dengan adanya PFB dana bencana juga tetap bisa menjadi prioritas utama,” ucap Yusuf.

Ada tiga tujuan strategis dari PFB. Pertama, meningkatkan kapasitas pendanaan risiko bencana pemerintah pusat dan daerah, khususnya untuk pengurangan risiko bencana. Peningkatan tersebut diharapkan tercipta melalui beberapa skema seperti peningkatan alokasi khususnya di APBD dan di PFB untuk kegiatan pengurangan risiko, semakin luasnya cakupan pengasuransian risiko bencana, besarnya jumlah dana kelolaan PFB dan peningkatan alokasi atau program untuk pendanaan siap pakai.

Kedua, PFB ditujukan sebagai skema pendanaan untuk mengurangi risiko keuangan negara terhadap bencana.

“Hadirnya PFB akan menciptakan penyangga untuk APBN dan APBD dari dana yang dikelola. Akumulasi dana PFB menjadi alat keuangan atau dana cadangan untuk melindungi keuangan negara. Selain itu, pendanaan transfer risiko yang semakin masif akan menjadi sumber pendanaan dari penanggung risiko bagi pemerintah apabila terjadi bencana besar,” jelas Nella.

Salah satu persoalan yang dihadapi pemerintah adalah penyaluran dana yang tidak tepat waktu dan sasaran. Maka, tujuan ketiga dari PFB yang dikelola oleh BLU adalah mampu mendorong penyaluran dana yang tepat waktu dan sasaran. Manajemen PFB, bersama dengan K/L dan pemda, dapat menciptakan program, standar pelayanan minimal dan standar operasional dan prosedur serta memiliki key performace index (KPI) atau indikator kinerja utama (IKU) yang mendorong penyaluran dana yang tepat waktu dan sasaran

Masalah klasik yang menjadi tantangan

Sebagai instrumen yang baru diluncurkan pada Agustus 2021 lalu, implementasi PFB di tahap awal juga menghadapi beberapa tantangan. Perumusan konsep yang matang menjadi sangat krusial dan koordinasi yang intensif juga amat diperlukan.

“Meyakinkan berbagai pihak, melakukan banyak koordinasi, dan kemudian merumuskan PFB menjadi satu konsep yang jelas itu tantangannya banyak sekali. Sebab, untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai PFB memerlukan effort yang besar. Jadi, selain pembangunan infrastrukturnya, sumber daya manusianya juga perlu dibangun untuk memahami dengan baik,” terang Nella.

Yusuf pun mengamini bahwa masalah klasik yakni koordinasi menjadi tantangan di tahap awal pengelolaan PFB ini. Pihak-pihak yang terlibat seperti BNPB dan Pemda juga harus mendapat informasi yang jelas mengenai cara kerja PFB dan bagaimana nanti menjalankan arahan dari pemerintah pusat mengenai PFB ini.

“Selain itu, tantangan utamanya adalah bagaimana dana kelola ditempatkan pada instrumen investasi yang seperti apa dan seberapa besar dana yang ditempatkan. Ini berkaitan dengan koordinasi tadi perlu memprediksi bencana apa yang akan terjadi serta memetakan kebutuhan dananya. Ini menjadi penting karena akan menentukan besaran dana yang akan diinvestasikan serta bentuk investasinya,” tambah Yusuf.

Harapan jangka panjang PFB

Dalam merumuskan PFB sebagai instrumen pendanaan bencana, terbersit harap pengelolaan pendanaan risiko bencana akan lebih kredibel. Selain itu, kedepannya PFB juga diharapkan menjadi sumber utama pendanaan penanggulangan bencana.

“PFB ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Kita harus bisa mempercayai para ahli di bidang tersebut dapat memberikan sistem mekanisme yang lebih baik. Dengan demikian dapat meminimalisir pengeluaran yang tidak diperlukan, menerapkan prinsip governance yang tepat, dan tentu saja saya mengharapkan keberhasilan PFB dalam mencapai tujuannya,” tutur Nella.

Yusuf juga menyampaikan harapan yang serupa di mana PFB dapat menjadi solusi alternatif pembiayaan bencana dalam negeri. Menurutnya PFB adalah visi jangka panjang dan agar tidak berhenti hanya dalam aspek mendanai kebutuhan tanggap darurat atau paskabencana, tetapi juga menguatkan aspek prabencana. Rencananya dana awal PFB akan dicairkan di awal semester dua tahun 2022. Untuk penyaluran dananya direncanakan akan dimulai tahun 2023.

“Harapannya PFB tidak hanya berbicara mengenai pemberian dana ke masyarakat atau pemda terdampak, tetapi juga bisa mendukung mitigasi bencana. Jadi tidak hanya sekedar bagaimana membangun kembali, tapi juga bagaimana misalnya melakukan konsultasi, melakukan pembangunan infrastruktur yang lebih tahan bencana,” pungkas Yusuf.