Menuju APBN 2022

15 Juni 2021
OLEH: CS. Purwowidhu
Menuju APBN 2022
 

APBN 2020 dan 2021 bekerja keras menahan goncangan krisis pandemi COVID-19 agar perekonomian kita tidak terkontraksi lebih dalam. Belanja pemerintah menjadi bantalan pergerakan roda ekonomi kala aktivitas ekonomi lainnya tumbuh negatif. Di 2020, laju kontraksi ekonomi berhasil ditekan pada angka -2,07 persen, lebih moderat dibandingkan negara-negara lain di dunia. Sinyal pemulihan berlanjut di kuartal I 2021. Hampir semua indikator ekonomi dan bisnis menunjukkan tren positif. Ekonomi pun tumbuh -0,74 persen.

Seiring pelanjutan kerja keras APBN di 2021, pemerintah telah merancang Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) Tahun 2022. Dokumen KEM-PPKF yang disampaikan kepada DPR RI pada 20 Mei 2021 tersebut digunakan sebagai bahan Pembicaraan Pendahuluan dalam penyusunan RAPBN 2022.

Bukan perkara mudah merancang kebijakan fiskal 2022. Mengingat dinamika perekonomian global dan domestik masih dibayangi ketidakpastian tinggi akibat ancaman penyebaran pandemi yang belum usai dan perkembangan varian baru COVID-19. Di tengah tantangan itu, pemerintah dan DPR harus mampu merancang kebijakan fiskal yang ekspansif namun terarah dan terukur.

 

Konsolidasi fiskal

APBN 2022 merupakan APBN transisi menuju pelaksanaan APBN normal pada 2023, di mana defisit anggaran akan kembali berada di bawah 3 persen, sebagaimana diamanatkan oleh UU No.2 Tahun 2020. Karena itu, pemerintah merancang arah konsolidasi fiskal 2023 sebagai upaya pendisiplinan fiskal untuk penyehatan APBN agar keberlanjutan fiskal sebagai komponen pemulihan jangka menengah-panjang terjaga. Caranya dengan menurunkan defisit, melalui peningkatan penerimaan negara secara bertahap dan pengendalian belanja negara. Defisit anggaran yang tahun ini direncanakan sekitar 5,7 persen PDB akan diturunkan menjadi 4,85 persen di 2022. Sementara rasio perpajakan 2022 diperkirakan pada kisaran 8,37-8,42 persen terhadap PDB.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Banggar DPR RI, Said Abdullah mengharapkan pemerintah memiliki level of confidence yang tinggi, optimis tetapi tetap realistis untuk mencapai target penerimaan pajak yang disepakati. Sehingga mampu meminimalisir short fall pajak yang besar untuk menjaga kinerja postur APBN secara keseluruhan. Ia juga berharap pemerintah hendaknya sudah memiliki manajemen risiko dan disiplin fiskal serta ekstra effort yang terukur, dalam mengantisipasi setiap perubahan situasi di 2022. “Sehingga, tidak perlu lagi menambah defisit yang sudah menjadi beban anggaran yang relatif besar. Agar kredibilitas dan keberlanjutan APBN 2022 tetap terjaga dengan baik,” ucap Said.  

Berbeda pandangan, Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah Redjalam melihat ruang fiskal yang ada masih bisa lebih dioptimalkan untuk menanggulangi pandemi dan menyelamatkan para pelaku ekonomi. Terlebih di tengah ketidakpastian waktu berakhirnya pandemi. Dengan batas defisit sesuai undang-undang dan ketentuan umum di dunia yang sebesar 60 persen PDB, maka tingkat defisit APBN kita yang selama ini terjaga di angka 30 persen PDB dan ketika pandemi naik menjadi 41 persen PDB, menurut Piter adalah hal yang lumrah. “Jangan dibebani dengan upaya untuk menahan jangan sampai defisitnya melonjak terlalu tinggi. Karena kalau tantangan kita ditambahin, di satu sisi kita harus menanggulangi pandemi juga menyelamatkan perekonomian, kemudian juga menjaga fiskal dengan sangat ketat, ruang kita menjadi sangat sempit, kita menjadi sangat tidak leluasa untuk melakukan sesuatu,” ungkap Piter.

Kebijakan fiskal 2022 berfokus pada pemantapan pemulihan ekonomi dan reformasi struktural.

Fiskal sebagai ujung tombak

APBN 2022, menurut Piter, masih menjadi instrumen utama penggerak ekonomi. “Swasta masih belum bisa kita harapkan sepenuhnya. Swasta baru bisa bergerak kalau sudah ada stimulus dari pemerintah,” bebernya. Karena itu, Piter berpendapat dalam penyusunan RAPBN 2022 hendaknya pemerintah berfokus pada pertama, penanggulangan pandemi. Pencegahan second wave dan pelanjutan penurunan kasus harian menjadi kunci utama pemulihan ekonomi.

Kedua, yang tak kalah penting juga, sebut Piter, menjaga semua pelaku ekonomi di Indonesia agar bisa tetap bertahan hidup. Sehingga ketika pandemi berakhir, kita bisa lebih mudah bangkit kembali. Kedua hal tersebut dijalankan melalui pemanfaatan ruang fiskal semaksimal mungkin sebagai pendorong perekonomian. Dengan begitu, Piter meyakini pertumbuhan ekonomi 2022 bahkan bisa melampaui target pemerintah yang sebesar 5,8 persen.

Senada, Said mengatakan prioritas belanja pemerintah harus tepat sasaran. Antara lain melalui penguatan perlindungan sosial, peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, mutu pendidikan, dan ketahanan pangan. Selain itu, pemulihan sektor pariwisata, pembangunan infrastruktur, serta dukungan untuk UMKM dan dunia usaha juga harus dilanjutkan. “Semua alokasi anggaran pemerintah pusat tersebut, harus berbasis kepada output, outcome, dan hasil yang terukur dengan baik (result based),” ujar Said.

Said juga berharap pemerintah mengoptimalkan pembenahan transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) agar bisa menjadi instrumen fiskal yang efektif untuk mengejar ketertinggalan daerah, khususnya desa. “Ekonomi desa hanya menyumbang 14 persen dari total PDB nasional, sedangkan 86 persen sisanya berasal dari perkotaan,” ungkapnya. Ia mendukung upaya pemerintah menjadikan kebijakan TKDD 2022 sebagai momentum untuk meningkatkan quality control anggaran, memberikan ruang bagi pemda dalam pemulihan ekonomi, serta meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan di daerah.

 

Agar tidak sekadar jargon

Kebijakan fiskal 2022 berfokus pada pemantapan pemulihan ekonomi dan reformasi struktural. Pemantapan ekonomi melalui intervensi penanganan COVID-19 menjadi hal utama yang harus dilakukan, di samping mendorong bangkitnya sektor-sektor strategis pendongkrak ekonomi. Sedangkan reformasi struktural melalui peningkatan kualitas SDM, pembangunan infrastruktur, dan penguatan reformasi birokrasi diperlukan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.

Hasil Kajian Kementerian Keuangan dan Asian Development Bank menunjukkan kemampuan adopsi teknologi dan inovasi berpotensi meningkatkan 0,55 persen pertumbuhan ekonomi per tahun selama dua dekade ke depan. Lalu, G20 Surveillance Note mencatat 0,5 persen PDB untuk belanja infrastruktur mampu mendorong 1 persen pertumbuhan ekonomi per tahun dalam empat tahun berikutnya. Sementara Reformasi birokrasi pemerintah pusat dan daerah akan mendorong iklim usaha yang kondusif.

Piter sependapat reformasi struktural jangka menengah-panjang harus dilakukan untuk mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi dan memanfaatkan sumber daya. Namun, ia juga mengingatkan perlunya road map yang jelas agar reformasi struktural tidak menjadi jargon semata. “Kita perlu punya rujukan, yang kita maksud reformasi struktural itu seperti apa, akan kita lakukan berapa lama, dengan cara bagaimana, dan siapa saja yang akan terlibat di dalam reformasi struktural tersebut,” pungkas Piter.


CS. Purwowidhu