Menakar Pembatasan Minuman Berpemanis Dalam Kemasan

18 Maret 2024
OLEH: CS. Purwowidhu
Ilustrasi oleh Tubagus P.
Ilustrasi oleh Tubagus P.  

Konsumsi makanan dan minuman manis menjadi tradisi yang tak terpisahkan dari budaya kuliner Indonesia. Bahkan, bisa dibilang penganan dan minuman manis telah menjadi candu masyarakat. Sayangnya, manisnya gula tak semanis risiko kesehatan yang ditimbulkan apabila dikonsumsi berlebih.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 menunjukkan rata-rata konsumsi gula putih per kapita per minggu mencapai 1.123 gram atau dengan kata lain konsumsi gula pasir per orang di Indonesia sebanyak 160 gram per hari. Tiga kali lebih banyak dari anjuran konsumsi gula harian Kementerian Kesehatan (Kemenkes) atau enam kali lipat dari anjuran organisasi kesehatan dunia (WHO).

Kegandrungan masyarakat akan si manis ini juga nampak dari tingkat konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) di Indonesia. Laporan Center For Indonesia Strategic Development Iniatitives (CISDI) mencatat konsumsi MBDK meningkat sebanyak 15 kali lipat dalam dua dekade terakhir, yaitu dari 51 juta liter pada tahun 1996 menjadi 780 juta liter pada 2014. Indonesia pun dinobatkan sebagai negara ke-3 dengan konsumsi MBDK terbanyak di Asia Tenggara pada 2020.

Peningkatan drastis konsumsi gula berlebih berimplikasi pada rentetan risiko yang membahayakan, bukan hanya bagi masyarakat tetapi juga bagi keberlanjutan bangsa. Mulai dari peningkatan prevalensi penyakit tidak menular (PTM) hingga beban jangka panjang yang harus ditanggung negara, termasuk anjloknya produktivitas imbas tingginya angka kesakitan dan kematian akibat PTM.

Gula berlebih, obesitas, dan ancamannya

Asupan gula berlebih, termasuk lewat konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) menyebabkan surplus kalori yang berakibat pada obesitas. Kandungan gula dalam MBDK sangat tinggi dan tergolong mudah dikonsumsi berlebih karena tidak menimbulkan rasa kenyang.

Sebagai contoh, satu teh kemasan rasa buah dengan takaran saji 350 ml mengandung 42 gram gula. Sementara anjuran Kemenkes untuk konsumsi harian gula per orang adalah 10% dari total rata-rata kebutuhan kalori manusia yang sebesar 2000 kalori, yakni sebanyak 200 kalori atau tidak lebih dari 50 gram gula atau setara 4 sendok makan per hari.

Dengan meneguk 3 porsi teh kemasan tersebut, 600 kalori sudah masuk ke dalam tubuh, belum lagi ditambah makanan dan camilan manis lainnya. Otomatis terjadi surplus kalori. Kebiasaan tersebut jika terus berlanjut menyebabkan obesitas.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)-diselenggarakan per lima tahunan- yang dirilis terakhir pada 2018 menunjukkan setidaknya 61,27% penduduk mengonsumsi minimal satu jenis MBDK per hari. Riset juga mencatat persentase penduduk Indonesia dengan obesitas meningkat dua kali lipat dalam satu dekade terakhir dari 10,3% pada 2007 menjadi 21,8% pada 2018.

Temuan tersebut sangat mengkhawatirkan lantaran obesitas menjadi faktor risiko berbagai penyakit tidak menular (PTM) kronis seperti penyakit jantung, diabetes, hipertensi, kerusakan hati dan ginjal, hingga beberapa jenis kanker. Adapun hingga saat ini, stroke, jantung, dan diabetes masih menempati tiga penyakit penyebab kematian tertinggi di Indonesia.

Dan patut dipahami bahwa prevalensi PTM berdampak pada ekonomi. Dana yang dikeluarkan negara untuk membiayai penanganan PTM tidaklah sedikit. Pada tahun 2022 tak kurang dari Rp24,1 triliun telah dikeluarkan pemerintah untuk pembiayaan penanganan PTM melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Penanganan penyakit diabetes menjadi salah satu yang memakan pembiayaan terbesar.

International Diabetes Federation (IDF) dalam Atlas edisi ke-10 yang dirilis pada 2021 mengonfirmasi ‘mother of all disease’ tersebut termasuk kegawatdaruratan kesehatan global dengan lonjakan pesat di abad 21 ini. Konsumsi MBDK berkaitan erat dengan prevalensi faktor risiko diabetes.

Sebuah studi mengenai epidemi obesitas dan penyakit kronis global di tahun 2022 menemukan adanya peningkatan risiko diabetes mellitus tipe 2 sebesar 18% untuk setiap sajian MBDK per hari.

Risiko prevalensi diabetes menjadi ancaman tak terelakkan bagi dunia, termasuk Indonesia. Prevalensi diabetes di Indonesia kian melonjak dari tahun ke tahun. Data Riskesdas menunjukkan hanya dalam kurun 5 tahun (2013-2018) prevalensi diabetes naik sebesar 30%.

Sementara data Atlas IDF ke-10 memperkirakan prevalensi diabetes di Indonesia pada kelompok usia 20 s.d. 79 tahun mencapai 10,6% atau sebanyak hampir 20 juta orang. Artinya, di antara 9 orang penduduk dengan usia antara 20 hingga 79 tahun, terdapat 1 orang penderita diabetes, terdiagnosis ataupun tidak.

Parahnya, bahaya diabetes tidak hanya mengintai orang dewasa tapi juga anak-anak. Berdasarkan data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), hingga 31 Januari 2023, prevalensi kasus diabetes pada anak telah meningkat 70 kali lipat. Dengan hampir 60% penderitanya adalah anak perempuan.

Mengutip dari laman pelayanan kesehatan Kemenkes, fenomena tersebut tak boleh diabaikan. Karena ke depan perempuan pengidap diabetes akan melahirkan bayi dengan berat badan berlebih dan juga cenderung memiliki genetik penyakit diabetes yang dominan.

Lebih dari itu, lonjakan fantastis kejadian diabetes pada anak juga bukan sekonyong-konyong terjadi. Namun, diabetes anak tipe 1 itu diawali dari sindrom metabolik berupa kelebihan berat badan yang kemudian memicu resistensi insulin. Pola makan dengan gula berlebih ditengarai menjadi faktor utama tingginya angka kejadian diabetes pada anak.

InfografikCSMaret24.jpg
Infografis oleh Aditya W.

Lindungi anak Indonesia dari adiksi MBDK

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengamini gaya hidup dan pola makan tidak sehat pada anak, khususnya konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan sudah dalam taraf sangat mengkhawatirkan.

Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) merupakan semua produk minuman dalam kemasan yang berpemanis. Baik berpemanis gula, maupun yang mengandung bahan tambahan pemanis yang lain. Dalam bentuk cair, konsentrat (yang perlu dilarutkan), maupun bubuk (yang perlu diseduh).

Produk-produk tersebut dapat berupa namun tidak terbatas pada minuman berkarbonasi, berenergi, sari buah kemasan, minuman isotonik, minuman herbal dan bervitamin, susu berperisa, teh dan kopi kemasan, kental manis, dan sirup.

“Saat ini pola konsumsi anak-anak di Indonesia mengarah kepada pola hidup yang sangat tidak sehat, yaitu gemar mengkonsumsi minuman manis dalam kemasan,” ujar Tulus.

Gambaran pola konsumsi MBDK oleh anak-anak di Indonesia terpotret gamblang oleh YLKI dalam survei “Konsumsi Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) di 10 Kota” pada medio 2023. Survei dilakukan di Medan, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogya, Surabaya, Balikpapan, Makassar, dan Kupang.  

Sejumlah temuan penting dari survei tersebut mengonfirmasi anak dan remaja Indonesia gemar mengonsumsi MBDK. Terbukti 26% anak usia kurang dari 17 tahun mengonsumsi MBDK setiap hari. Bahkan 31,6% anak mengonsumsi MBDK sebanyak 2 hingga 6 kali seminggu.

Kemudahan akses pembelian MBDK menjadi salah satu pendorong utama anak dan remaja mengonsumsi MBDK. Anak-anak bisa membeli produk-produk MBDK hanya dalam jarak 2 sampai 10 menit dari tempatnya berada. Seperti di warung, minimarket, supermarket, bahkan rumah sakit dan sekolah.

Di samping itu, aspek motivasi juga menjadi pemicu anak mengonsumsi MBDK. Rasa penasaran anak-anak, rasa produk yang dianggap enak, dan keterjangkauan harga memotivasi anak untuk mnegonsumsi MBDK. Di tambah lagi bujuk rayu iklan dengan beragam daya pikatnya yang masif bertebaran di berbagai platform.

Uniknya, 78% responden memahami konsumsi MBDK akan mengakibatkan obesitas. Bahkan 81% memaklumi konsumsi MBDK berdampak terhadap kesehatan jangka panjang. Namun, pengetahuan akan risiko kesehatan akibat konsumsi MBDK tak menghentikan mereka untuk mengonsumsinya.

Fenomena ini menyiratkan minuman berpemanis telah menjadi candu bahkan semenjak usia dini. Dan edukasi saja tidaklah cukup untuk mencegah masa depan anak-anak Indonesia tergerus lebih dalam di pusaran adiksi gula berlebih. Sebab itu, tak bisa dipungkiri, pengendalian konsumsi MBDK urgen dan membutuhkan intervensi negara.

“Pengendalian konsumsi MBDK itu menjadi hal yang sangat mendesak karena sudah nyata terlihat bahwa tingkat konsumsi MBDK pada anak dan remaja sangat tinggi,” tegas Tulus.

InfografisLaputMar24V2.png
Infografis oleh Dimach Putra.

Takar manfaat pengendalian

Sejatinya, pemerintah telah mewacanakan pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) untuk mengendalikan konsumsi atas barang yang dianggap berefek negatif terhadap kesehatan dan mendorong tingginya prevalensi penyakit tidak menular tersebut.

Untuk tahap awal, cukai MBDK akan diterapkan kepada produk minuman dalam kemasan yang menggunakan gula pasir sebagai pemanis. Cukai MBDK akan meningkatkan harga penjualan MBDK, sehingga dapat menurunkan konsumsi MBDK sekaligus mengurangi prevalensinya.

Rencana kebijakan tersebut juga sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Bahwa salah satu upaya yang ditempuh untuk meningkatan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing adalah melalui ekstensifikasi cukai pada produk pangan yang berisiko tinggi terhadap kesehatan.

Pembatasan konsumsi MBDK juga merupakan salah satu bentuk dukungan terhadap target agenda 2020 untuk pembangunan berkelanjutan. Yakni mengurangi hingga sepertiga angka kematian dini akibat penyakit tidak menular (PTM), melalui pencegahan dan pengobatan, serta peningkatan kesehatan mental dan kesejahteraan.

Di samping itu, rencana aksi nasional pangan dan gizi juga mencantumkan penetapan MBDK sebagai barang kena cukai baru meupakan salah satu program untuk meningkatkan jaminan keamanan dan mutu pangan.

Pemerintah menurut Tulus memiliki modal sosial yang cukup baik untuk segera mengeksekusi wacana pengendalian MBDK. Pasalnya, berdasarkan hasil survei YLKI, dukungan publik terhadap rencana pengenaan cukai MBDK cukup signifikan yakni sebesar 58%. YLKI juga meyakini kenaikan harga pada produk MBDK berpotensi mengurangi jumlah konsumsi.

“Yang utama adalah bagaimana menekan pola konsumsi (MBDK) masyarakat itu dengan pengenaan cukai karena cukai dibayar konsumen. Sehingga konsumen punya kesadaran atau dorongan untuk mengurangi konsumsinya,” terangnya.

Pengenaan cukai MBDK bukanlah hal baru di dunia. Berdasarkan publikasi Ringkasan Kebijakan Urgensi Cukai MBDK di Indonesia oleh CISDI tahun 2022, terdapat 49 negara yang telah menerapkan cukai MBDK, termasuk beberapa negara berpenghasilan menengah.

Berdasarkan hasil penerapan cukai MBDK di 49 negara tersebut diperoleh temuan bahwa penerapan cukai sebesar 20% diprediksi akan menurunkan konsumsi MBDK sebesar 24%. Di kawasan Asia Tenggara sendiri, sudah ada empat negara yang menerapkan cukai MBDK yakni Thailand dan Brunei sejak 2017, Filipina sejak 2018, dan Malaysia sejak 2019.

Kesuksesan implementasi cukai MBDK bisa dilihat salah satunya dari pengalaman Meksiko. Sebagai salah satu negara dengan asupan minuman manis tertinggi di dunia, pada 2014 Meksiko mulai menerapkan pengenaan cukai MBDK sebesar 10%. Dengan kebijakan tersebut, penurunan konsumsi MBDK di Meksiko secara total dari tahun 2012 hingga 2016 tercatat sebesar 37%. Bahkan meningkatkan penjualan air minum dalam kemasan (AMDK) dan minuman lain yang tidak terkena cukai.

Di samping penurunan konsumsi, pengenaan cukai MBDK juga akan mendorong industri menurunkan kandungan gula dalam produknya. Seperti halnya yang terjadi di Inggris dan Portugal.

Dan yang terpenting, berkurangnya konsumsi MBDK pada akhirnya akan berkontribusi bagi perbaikan kesehatan masyarakat dalam jangka panjang seiring menurunnya faktor risiko penyakit tidak menular.

Lebih lanjut mengutip CISDI, studi pemodelan di Thailand menunjukkan cukai MBDK sebesar 20% dan 25% dapat menurunkan prevalensi obesitas berturut-turut sebesar 3,83% dan 4,91%.

Sementara itu, studi pemodelan di Indonesia yang mengasumsikan cukai MBDK sebesar Rp5.000 per liter diproyeksi dapat mencegah hingga 1,5 juta kasus diabetes dalam jangka 25 tahun ke depan. Besaran yang sama juga menekan kasus stroke dan penyakit jantung iskemik.

Satukan visi, ciptakan generasi bebas diabetes

Tulus mengatakan YLKI merekomendasikan pengenaan cukai MBDK sekitar 20% tanpa pengecualian dan dilakukan secara komprehensif. Angka tersebut dipandang cukup relevan untuk mengakomodir kepentingan konsumen maupun industri, khususnya di tahap awal implementasi kebijakan.

Di sisi industri, Tulus juga menjelaskan sebagaimana hasil penerapan cukai MBDK di negara-negara lain, pengenaan cukai tersebut tidak akan membuat perusahaan bangkrut ataupun meningkatkan angka pengangguran. 

“Karena dengan pengenaan cukai 20%, itu tidak serta-merta kemudian membuat masyarakat berhenti konsumsi atau produksinya turun drastis dan kemudian mengurangi produksi dan distribusinya. Dan tidak membuat perusahaan lalu gulung tikar atau PHK atau bangkrut. Di negara lain juga tidak ada yang yang sampai perusahaannya collaps hanya karena mengenakan kebijakan pembatasan atau pengendalian,” urainya panjang lebar.

Lebih lanjut, Tulus menerangkan pihak industri memiliki banyak produk minuman lain selain MBDK. Sebab itu, penurunan penjualan MBDK akan diikuti dengan peningkatan penjualan produk minuman lain yang tidak menjadi objek cukai, seperti air minum dalam kemasan (AMDK).

“Nah kalau nanti konsumsi MBDK-nya berkurang, itu secara otomatis masyarakat akan beralih pada AMDK. Jadi ada migrasi. Artinya ya betul MBDK-nya turun, tetapi kemudian terjadi kenaikan di AMDK. Akhirnya sama, perusahaan juga mendapatkan keuntungan dari migrasi MBDK ke AMDK. Dengan asumsi perusahaan itu memproduksi juga AMDK,” ungkapnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh CISDI. Pada tahun pertama setelah diberlakukannya cukai MBDK di Meksiko, penjualan AMDK tercatat meningkat sebesar 5% dan minuman tidak kena cukai (seperti minuman rendah gula) mengalami peningkatan penjualan sebesar 11%.

Tulus berpendapat penerapan cukai untuk mengendalikan konsumsi MBDK tidak bisa berdiri sendiri. Namun, perlu didukung program-program kebijakan lainnya.

“Jadi, dari 49 negara itu memang tingkat penurunan konsumsi MBDK-nya antara 29-30% dari konsumsi sebelumnya. Tapi itu didukung dengan instrumen kebijakan yang lain juga ya. Misalnya pembatasan distribusi, pembatasan iklan, ataupun juga ada labelling. Jadi tidak serta-merta hanya cukai saja,” paparnya.

YLKI juga mendorong industri MBDK agar melakukan pemasaran yang bertanggung jawab terhadap perlindungan konsumen khususnya anak-anak dan remaja. Untuk itu, pemerintah menurut Tulus perlu membuat regulasi yang mengatur pembatasan pemasaran MBDK kepada anak-anak. Serta menegakkan aturan labelling pada kemasan MBDK agar masyarakat lebih waspada sebelum mengonsumsi MBDK.

“Saya harap, ke depannya semua pihak terutama pemerintah, masyarakat, dan juga industri punya concern dan visi yang sama. Memperbaiki kualitas kesehatan masyarakat dalam hal ini melalui pengendalian konsumsi gula berlebih khususnya MBDK. Sehingga faktor risiko prevalensi penyakit tidak menular bisa dikurangi,” pungkasnya.  


CS. Purwowidhu