Meraih Peluang, Menggapai Asa

1 November 2020
OLEH: CS. Purwowidhu
Meraih Peluang, Menggapai Asa
 

Daun-daun tua berguguran menutupi jalan dan tanah di Inggris Oktober ini. Seorang pemuda nampak bersemangat menggowes sepeda menembus dinginnya hawa pagi Oxford. Alih-alih menggunakan transportasi publik, bersepeda sejauh 5-7 KM dari rumah menuju lab riset memang menjadi kebiasaan baru Indra Rudiansyah di tengah pandemi ini agar terhindar dari kerumunan.

Indra Rudiansyah adalah penerima beasiswa program doktoral dari LPDP yang sedang menempuh studi S3 di Clinical Medicine, University of Oxford, Inggris. Indra juga tergabung  dalam tim riset vaksin COVID-19 University of Oxford bekerja sama dengan AstraZeneca. Vaksin Oxford/AstraZeneca per akhir Agustus 2020 telah memasuki uji klinis fase tiga yang melibatkan sekitar 30 ribu orang sukarelawan di berbagai negara.

   

Platform teknologi terbarukan

University of Oxford khususnya Jenner Institute, lembaga penelitian vaksin di bawah departemen Clinical Medicine, memiliki platform teknologi adenovirus atau vero vector. Platform teknologi terbarukan tersebut bisa diaplikasikan untuk mengevaluasi kandidat vaksin apapun. Ini layaknya jawaban di tengah pandemi COVID-19 yang mengglobal. Indra mengungkapkan dalam kurun waktu tiga bulan sejak pertama kali ditemukannya kasus COVID-19 di Wuhan, China, Oxford sudah memiliki kandidat untuk uji klinis berkat platform teknologi vaksin tersebut.  

Indra memaparkan, biasanya dari proses pemilihan kandidat vaksin sampai akhir uji klinis fase tiga bisa memakan waktu lima sampai sepuluh tahun, karena setiap proses dilakukan secara sekuensial satu per satu. Namun situasi pandemi memungkinkan untuk dilakukannya overlapping phase sehingga peneliti dapat melakukan uji klinis fase dua sebelum fase satu berakhir dengan catatan data-data laporan dari fase satu bisa mendukung untuk lanjut ke fase dua.

 

Indonesia dan pengembangan vaksin

Sebagai negara dengan populasi keempat terbesar di dunia, pengembangan vaksin di Indonesia menurut Indra perlu ditingkatkan karena padatnya populasi membuat masyarakat rentan terhadap penyakit infeksius. “Kita tidak ingin masyarakat kita banyak yang sakit, apalagi penyakitnya sebetulnya bisa ditanggulangi oleh vaksin,” ucap product development specialist salah satu perusahaan BUMN yang bergerak di bidang farmasi tersebut. Indra menerangkan adanya gap antara universitas dengan industri farmasi atau klinis di Indonesia perlu dijembatani, salah satunya dengan membangun departemen clinical medicine seperti di Oxford. “Jadi kita tidak hanya mendesain vaksin atau obat, tapi kita juga evaluasi di klinis,” ujar pria yang pernah terjun dalam proyek pengembangan praklinis vaksin rotavirus dan novel oral polio ini.

Indra mendedikasikan studi doktoralnya untuk riset pengembangan vaksin malaria karena di samping kompleksitas penyakit tersebut, Indonesia juga termasuk salah satu negara endemis malaria dan sampai sekarang belum ada vaksin malaria yang dapat digunakan secara massal. Indra memupuk harapan untuk dapat memberikan added value pada proses pengembangan vaksin malaria di Indonesia dengan memanfaatkan platform teknologi terbarukan seperti yang ia pelajari di Oxford saat ini.

Indra saat melakukan penelitian tahap uji klinis vaksin COVID-19 (Foto: Dok. Pribadi)

Kesempatan berharga

Tak dinyana, tahun kedua studi di Oxford mendatangkan pengalaman berharga bagi Indra. Pada Maret 2020, pemerintah Inggris menerapkan kebijakan lockdown sehingga proyek riset vaksin malaria terpaksa dihentikan sementara. Prioritas riset di laboratorium ditujukan untuk COVID-19, baik mengenai pengobatan maupun biological virus, termasuk vaksin. Segala hal yang berkaitan dengan proyek riset vaksin lainnya dilakukan secara daring.

Enggan berfokus hanya pada proyek risetnya semata, Indra melihat kebutuhan yang lebih besar dalam upaya solutif melawan pandemi. Oleh sebab itu, tatkala principle investigator (PI) atau ketua riset vaksin COVID-19 membuka kesempatan bagi mahasiswa atau postdoc dari grup peneliti vaksin lainnya untuk membantu pengembangan uji klinis vaksin COVID-19, Indra pun segera mendaftarkan diri. Uji klinis ditujukan untuk menguji keamanan dan efikasi atau kemanjuran vaksin pada manusia. Meskipun proyek riset yang sedang dikerjakannya adalah vaksin malaria tetapi teknologi dan pengujian secara umum yang digunakan dalam riset tersebut sama dengan yang dipakai untuk meneliti vaksin COVID-19. “Saya mendata uji apa yang sudah saya lakukan di penelitian saya dan akhirnya saya masuk ke tim uji klinis vaksin COVID-19 ini,” tutur pemilik sertifikasi Human Tissue Authority (HTA) dan Good Clinical Practice (GCP). Indra mulai bekerja lagi di laboratorium sejak akhir April 2020. Ia bertugas di bagian imunologi untuk menguji respons antibodi dari para sukarelawan yang sudah divaksinasi.  

            Dalam situasi yang sarat tantangan, sebagai peneliti pada tahap uji klinis vaksin COVID-19 ini Indra tidak hanya diharapkan mampu bekerja dengan cepat namun juga tepat dan teliti. “Kita ingin dapat memperoleh data efikasi sebelum winter tahun ini, jadi memang sangat berpacu dengan waktu,” ucap peraih gelar master dari bioteknologi ITB itu. Proses uji klinis yang dinamis pun menuntut Indra untuk lekas beradaptasi dengan protokol terbaru, baik dalam pengaplikasian maupun perbaikan data riset. Untuk itu, hampir setiap minggu Indra mengikuti pelatihan protokol uji klinis terbaru.   

 

Waktu dan keseimbangan

Manajemen waktu menjadi tantangan tersendiri bagi Indra saat ini, terlebih sejak Juli 2020 lalu, proyek riset vaksin malaria yang ia kerjakan sudah dimulai kembali. Jadi ia harus membagi waktu untuk mengerjakan dua proyek riset vaksin, malaria dan COVID-19. Untuk itu, Indra memiliki kiat khusus dalam mengelola waktunya. Selain memanfaatkan aplikasi pengelola agenda dan kolaborasi tim, ia juga mengatur target pencapaian yang realistis setiap tahun selama masa studi yang ia jalani. Di masa pandemi ini, Indra melakukan beberapa penyesuaian dalam proyek riset malaria yang ia kerjakan agar tetap bisa lulus tepat waktu nantinya. “Saya masih bisa mendesain eksperimen saya selama dua tahun ini seefektif mungkin dan saya gunakan waktu lockdown ini untuk merefleksi kembali data-data hasil riset saya,” ungkapnya.

Mengatasi kepenatan setelah berkutat selama rata-rata 10 jam per hari di laboratorium, Indra tak lupa meluangkan waktu untuk kehidupan pribadinya, seperti membaca, belajar bahasa asing, dan bersosialisasi dengan para housemates-nya misalnya dengan makan malam bersama dan saling bertukar cerita. Setiap akhir pekan ia juga selalu menyempatkan diri untuk menghubungi orang tuanya di Indonesia melalui video call. “Ayah saya punya pengalaman terkena stroke, jadi saya juga sangat concern pada beliau di tengah pandemi ini,” ujarnya.

    

Pria yang gemar membaca ini berpesan agar para generasi muda rajin membaca karena dengan membaca kita bisa mengetahui informasi lebih banyak. Indra percaya hal yang bisa kita lakukan akan jauh lebih banyak berkat membaca dibandingkan hanya dari mendengar informasi secara sekilas yang diragukan validitasnya.

Bagi para awardee LPDP, Indra berharap agar dapat aktif membaca paper dan mencari informasi ketika proses pendaftaran ke kampus pilihan serta berperan aktif saat sudah menjalani perkuliahan. “Jangan hanya fokus pada diri sendiri tapi kita juga harus aware dengan lingkungan sekitar. Dan karena proses beasiswa adalah masa pembelajaran, selama kita masih mampu, selalu katakan ‘Yes to opportunity’,” pungkasnya.


CS. Purwowidhu