Pengamat Nilai Kebijakan Subsidi BBM Harus Direformasi

Laporan Utama
16 September 2022
OLEH: Dara Haspramudilla
Pengamat Nilai Kebijakan Subsidi BBM Harus Direformasi

 

 

“Lebih dari 70 persen subsidi justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu, yaitu pemilik mobil-mobil pribadi”. Inilah salah satu pernyataan Presiden Joko Widodo saat Konferensi Pers Presiden Jokowi dan Menteri Terkait perihal Pengalihan Subsidi BBM pada Sabtu, 3 September 2022. Pada kenyataannya, memang inilah yang terjadi di lapangan. Konsumsi BBM bersubsidi seperti Pertalite melonjak terutama setelah Pertamina memutuskan untuk menaikkan harga Pertamax. Migrasi para pemilik kendaraan yang awalnya menggunakan Pertamax lalu beralih ke Pertalite pun tak terelakkan.

Abra Talattov, Ekonom INDEF menilai kebijakan subsidi energi yang tidak diubah dari terbuka menjadi tertutup memang akan menjadi bumerang bagi APBN. Ini akan terus menjadi tantangan bagi pemerintah dalam memikirkan tambahan subsidi dan kuota BBM bersubsidi.

“Jadi yang kita lihat di tahun 2022 ini, meski pemerintah telah menambah anggaran subsidi energi menjadi Rp502 triliun, tapi kebijakannya tidak diubah maka akhirnya terjadi migrasi konsumen produk BBM non subsidi ke BBM bersubsidi. Shifting-nya juga cukup signifikan. Jadi Pertamax konsumsinya ya pasca terjadi kenaikan harga, itu menurun 26,3% konsumen Pertamax. Di sisi lain, konsumsi Pertalite naik sampai 13,8% sebulan pasca terjadinya penyesuaian harga tadi. Konsumsi BBM bersubsidi pun akan semakin tinggi bahkan diperkirakan terjadi over kuota dan diperkirakan bulan September atau Oktober akan habis,” tutur Abra.

Teuku Riefky, Ekonom LPEM FEB UI berpendapat bahwa negara seharusnya memproteksi masyarakat miskin dan rentan agar tidak terjadi kesenjangan yang semakin besar. Kesenjangan tersebut menurutnya akan berakibat tidak hanya menurunkan produktivitas, tetapi juga berisiko memunculkan kejahatan, kerusuhan sosial, dan bahkan pergolakan politik.

“Kita tahu harga keekonomian Pertamax itu misalnya Rp17.000, pemerintah jual di harga Rp12.000 (26/08). Artinya ada Rp5.000 yang pemerintah berikan ke pengguna Pertamax yang merupakan masyarakat menengah ke atas yang tidak butuh bantuan pemerintah. Nah, ini tidak terjadi secara gratis. Artinya Rp5.000 yang pemerintah berikan ke masyarakat yang tidak butuh tadi, secara tidak langsung diambil dari anggaran pendidikan, kesehatan, untuk masyarakat yang butuh,” jelas Riefky.

 

Subsidi BBM: Kebijakan Populis

Menurut Riefky, sebagai kebijakan yang populis, kebijakan subsidi BBM di Indonesia memang akan sulit untuk dihilangkan. Ia menambahkan jika nantinya kebijakan ini ingin direformasi, maka ongkos politiknya juga akan tinggi. Tak dipungkiri bahwa akan ada pihak-pihak yang akan memanfaatkan isu tersebut untuk meraih simpati masyarakat. Problematika dari adanya kebijakan populis ini pun tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain.

“Karena memang ongkos politiknya terlalu tinggi. Jadi artinya kalau reform mau dilakukan, ini sangat mudah untuk oposisi melakukan counter balance untuk memenangkan misalnya voting dari masyarakat. Ini nggak hanya terjadi di Indonesia, bahkan di negara maju seperti di Amerika Serikat, Inggris, negara-negara berkembang di Afrika dan Latin Amerika. Contohnya di Amerika Serikat, kebijakan Obama Care untuk fasilitas kesehatan. Sebetulnya kebocoran dan beban fiskalnya sangat besar, tapi dicabutnya sangat susah. Maka dilakukan efisiensinya pun ini sangat susah. Jadi ini adalah nature kebijakan populis yang terjadi di berbagai negara,” ungkapnya.

Saat ditanya mengapa dulu kebijakan subsidi diterapkan padahal saat ini dianggap sudah tidak tepat, Riefky menjawab bahwa latar belakangnya adalah terkait permasalahan pendataan penduduk. Alasan inilah yang menyebabkan pemerintah dulu mengeluarkan kebijakan subsidi terhadap barang atau produk.

“Dulu, kita tahu pendataan (penduduk) kita tidak sebaik sekarang. Kita mungkin belum tahu dulu siapa masyarakat yang betul-betul miskin, siapa masyarakat rentan, dan siapa yang masyarakat butuh subsidi. Pemerintah melakukan apa yang disebut dengan blanket subsidi atau produk subsidi. Produknya saja yang kemudian disubsidi oleh pemerintah karena kita juga nggak punya database yang cukup kuat untuk mendata siapa yang miskin atau rentan di waktu kebijakan itu muncul,” jelas Riefky.

 

Kebijakan Subsidi BBM Perlu Segera Direformasi

Menurut Riefky, untuk saat ini kondisi pendataan penduduk Indonesia sudah sangat berbeda. Apalagi setelah adanya pandemi Covid-19, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) menurut ekonom LPEM UI ini sudah jauh lebih baik. Alasan inilah yang kemudian menimbulkan urgensi perlunya reformasi subsidi BBM, terlebih lagi karena angka jumlah subsidi yang juga sangat besar.

“Kita sudah lebih tahu siapa masyarakat yang memang betul-betul butuh proteksi sosial dari pemerintah, siapa yang betul-betul miskin, siapa yang rentan, siapa yang sebetulnya nggak butuh. Jika melihat angka subsidi BBM dari pemerintah maupun estimasi dari berbagai penelitian, itu menunjukkan paling tidak angka subsidi dan kompensasi kita ini sudah di atas 500 triliun. Apalagi dari angka yang sangat besar ini ternyata yang menikmati juga bukan masyarakat miskin dan rentan ini tujuannya ke situ. Beberapa studi ada yang menyebutkan 50 persen ke atas bahkan yang paling ekstrem menyebut 80% yang menikmati adalah masyarakat menengah ke atas. Jadi kita membayar mahal bukan untuk tujuannya. Nah ini makanya semakin besar dorongan untuk melakukan reform subsidi tadi,” terang Riefky.

“Kita juga tidak boleh lupa bahwa pengurangan atau facing out dari subsidi dan kompensasi BBM ini juga baik untuk sisi lingkungan. Kalau kita sering bicara terkait transisi energi menuju net zero emission sebetulnya ini juga langkah yang tepat. Jadi kalau kemudian dilakukan reform subsidi, kita melangkah ke arah tepat ke dalam tiga poin sekaligus: lingkungan, fiskal, dan juga untuk masyarakat miskin dan rentan. Jadi secara garis besarnya ini sudah tepat untuk melakukan reform subsidi BBM”, ungkap Riefky.

 

Ruang diskresi terkait defisit pada APBN 2022 dan kondisi APBN semester I/2022 yang surplus juga menjadi semakin menguatkan bahwa momentum reformasi kebijakan subsidi yang tepat adalah tahun ini. Dengan demikian jika terjadi risiko akibat reformasi tersebut masih dapat diredam dengan fleksibilitas APBN. (Foto : Shutterstock)

Reformasi Kebijakan Subsidi BBM: Lebih Cepat, Lebih Baik

Baik Abra maupun Riefky berpendapat bahwa tahun ini adalah momentum yang paling tepat dalam melakukan reformasi kebijakan subsidi energi. Masih adanya ruang diskresi dalam APBN 2022 terkait defisit dan soal ongkos politik yang akan makin besar jika ditunda menjadi pertimbangan kedua ekonom tersebut.

“Momentum reformasi kebijakan subsidi energi harus segera dipercepat di semester dua ini. Sebab, ini akan membuat perubahan drastis kebijakan subsidi energy”, jelas Abra. Selain itu, kebijakan ini menurutnya juga akan menimbulkan bebrapa implikasi seperti inflasi meski sifatnya temporer serta resistensi dan pro kontra dari masyarakat terhadap kebijakan baru. “Momen reformasi di tengah tahun kedua ini juga akan memungkinkan dilakukannya evaluasi. Jadi, ketika dampak negatifnya cukup luas dan besar, pemerintah bisa melakukan penyesuaian atau penyempurnaan kebijakan,” tutur Abra.

Ruang diskresi terkait defisit pada APBN 2022 dan kondisi APBN semester I/2022 yang surplus juga menjadi semakin menguatkan bahwa momentum reformasi kebijakan subsidi yang tepat adalah tahun ini. Dengan demikian jika terjadi risiko akibat reformasi tersebut masih dapat diredam dengan fleksibilitas APBN.

Saya pikir momentum tepat adalah di tahun ini dibanding tahun depan saat defisit APBN tidak bisa lagi di atas 3 persen dari PDB. Jika ternyata ada ekses negatif dari kebijakan transformasi subsidi energi, pemerintah masih bisa meredamnya. Misal, targetnya pemerintah 40 persen masyarakat terbawah, tapi ternyata masyarakat yang 50 persen sampai 70 persen berteriak mereka butuh. Mungkin pemerintah masih bisa memperluas pemberian subsidi energi, bukan hanya 40 persen terbawah, tapi sampai 70 persen. Tetapi ini akan dievaluasi seperti apa besaran subsidi yang diberikan, seberapa besar efisiensi yang diciptakan dari perubahan kebijakan subsidi energi secara tertutup,” tambah Abra.

Perspektif senada juga disampaikan Riefky yang juga menilai bahwa saat ini adalah momentum untuk melakukan reformasi fiskal terutama subsidi BBM. Menurutnya, selain saat ini Indonesia telah melewati pandemi, situasi saat ini juga belum terlalu jauh memasuki tahun politik. Dengan demikian, ongkos politiknya masih tidak sebesar jika ditunda ke tahun berikutnya.

“Menurut saya lebih cepat lebih baik karena semakin ditunda, political cost makin besar. Makin dekat pemilu makin mahal ongkos politiknya. Dalam arti lebih banyak yang perlu dinegosiasi dan perlu banyak mendapatkan dukungan politik dari sisi manapun,” ucap Riefky.

 

Subsidi Untuk Target Individu Lebih Baik Dari Subsidi Terhadap Barang

Mekanisme subsidi yang menurut kedua ekonom ini lebih baik adalah yang sifatnya targetted. Jadi, bukan subsidi terhadap satu barang yang dapat diakses semua kalangan bahkan yang mampu sekalipun. Anggaran subsidi BBM akan lebih baik dari sisi fiskal jika dialokasikan untuk masyarakat miskin dan rentan.

“Jika kita bicara Rp500 triliun dialokasikan untuk BLT saja misalnya, itu mungkin kita bisa mengcover katakanlah sebulan Rp300.000,- untuk misalnya di atas 100 juta rumah tangga yang tergolong miskin dan rentan. Ini kan sangat besar dan well-targeted. Berapa triliun tadi yang dinikmati masyarakat yang tidak butuh, yang tabungannya dan income-nya cukup. Dan ini diambil dari masyarakat yang tidak punya income, yang tidak punya kemampuan membayar sekolah anaknya, tidak punya kemampuan untuk misalnya berobat ke dokter atau masyarakat yang bahkan mungkin tidak punya cukup uang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya,” ujar Riefky.

Menurut Abra pemerintah perlu segera melakukan perbaikan kebijakan mengenai segmen masyarakat yang berhak membeli BBM bersubsidi. Bahkan kalau perlu mekanisme subsidi ini dilakukan secara targetted artinya langsung ke terhadap individu atau rumah tangga, bukan berdasarkan kendaraan ataupun terhadap barang.

“Di beberapa negara seperti di Inggris ada kebijakan pemberian voucher energi khususnya untuk listrik. Ini sebetulnya sangat relevan jika diterapkan di Indonesia sebab dalam beberapa program perlindungan sosial juga sudah targetted seperti PKH dan bantuan pangan non tunai. Artinya secara infrastruktur dan best practice di negara kita pun sudah ada. Tinggal menentukan data mana yang akan digunakan, kelompok masyarakat atau desil mana yang akan diberikan bantuan subsidi energi,” pungkas Abra.