Kolaborasi Menjaga Stabilitas Global

16 November 2021
OLEH: CS. Purwowidhu
Kolaborasi Menjaga Stabilitas Global
 

Rekam jejak kontribusi Group of Twenty (G20) dalam menjaga stabilitas global telah teruji melewati sederet krisis keuangan global, yang paling besar misalnya pada krisis 2008. Kala itu seluruh negara yang tergabung di G20 sepakat untuk mengeluarkan stimulus moneter dan fiskal yang termasuk terbesar di dunia yang pernah terjadi.

Jika di awal pendirian G20 di 1999, pertemuan yang terjadi masih pada level menteri  keuangan dan gubernur bank sentral, maka pada 2008 G-20 untuk pertama kalinya melakukan pertemuan di tingkat kepala negara/pemerintahan (KTT). Yang selanjutnya dilangsungkan rutin setiap tahun dan tercatat telah menghasilkan 457 komitmen tata kelola ekonomi global dengan rerata 20-40 komitmen dihasilkan per KTT.

Komitmen kepala negara/pemerintahan dalam forum informal yang terdiri dari 19 negara dan Uni Eropa inilah yang kemudian melahirkan sejumlah kebijakan serta panduan dalam tata kelola ekonomi global sehingga tercipta stabilitas serta mendorong pemulihan ekonomi pascakrisis.

Direktur Pembangunan, Ekonomi, dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri, Hari Prabowo menjelaskan ada dua karakter utama yang memungkinkan G20 memainkan peran yang sangat strategis dalam memimpin tata kelola ekonomi global.

Pertama, G20 merupakan forum yang mempertemukan 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Anggota G20 menyumbang lebih dari 80 persen produk domestik bruto (PDB) global, 75 persen perdagangan global, dan 60 persen populasi global. Sinergi kebijakan dan kerjasama antara negara-negara G20 tersebut memiliki dampak yang sifatnya sistemik bagi stabilitas perekonomian dunia dan kemajuan pembangunan global.

“Kesepakatan-kesepakatan yang tercapai di G20 itu dapat menjadi katalisator dalam mendorong kemajuan penanganan berbagai isu di tataran yang lebih luas, termasuk dalam hal ini tentunya dalam memastikan stabilitas ekonomi dan finansial global,” terang Hari.

Kedua, karakter G20 yang mewakili berbagai kawasan di dunia, bukan hanya negara maju tapi juga negara berkembang, menjadikan keputusan-keputusan yang diambil oleh forum tersebut relatif lebih bisa diterima secara global.       

Ubah wajah tata kelola keuangan global

Sektor keuangan global semakin tahan banting setelah melewati krisis 2008, beberapa krisis sesudahnya, bahkan sampai dengan krisis pandemi Covid-19 di 2020. Kepala Departemen Internasional BI, Doddy Zulverdi mengatakan hal tersebut karena G20 teratur mengubah wajah tata kelola keuangan global yang terlihat antara lain dari permodalan bank yang semakin kuat serta tata kelola dan manajemen risiko yang lebih baik.

“Semuanya tidak bisa lepas dari komitmen negara-negara besar yang tergabung di G20 untuk mendorong reformasi sektor keuangan. Salah satunya tertuang dalam berbagai program atau standar-standar yang dikeluarkan oleh FSB (Financial Sector Board) atau lembaga yang mengeluarkan berbagai standar di sektor keuangan untuk global,” ujar Doddy.

Tak hanya itu, G20 juga turut mendorong peningkatan transparansi informasi di bidang perpajakan melalui Automatic Exchange of Information in Tax Matters (AEOI). Tercatat sebanyak 120 negara telah menyatakan komitmen untuk melakukan pertukaran informasi perpajakan.

“Ini tentu saja sangat membantu untuk mengurangi meluasnya atau mencegah terjadinya penggelapan pajak. Dan Indonesia menjadi salah satu negara yang telah berkontribusi dalam kerja sama ini sejak tahun 2018,” ungkap Doddy.

Adaptasi isu global

Untuk memastikan kesiapan dunia menghadapi situasi global ke depan, G20 terus mengadaptasi isu global yang berkembang. Karena itu bahasan G20 menjadi semakin luas, tak terbatas pada isu keuangan saja yang dibahas, tapi juga isu pembangunan dan kerja sama sektoral, misalnya kerja sama global di bidang ekonomi digital.

“Yang awalnya itu adalah digital economi task force kemudian sekarang sudah berkembang menjadi digital economy working group. KTT G20 Roma kemarin itu (30-31 Oktober 2021) juga menghasilkan health and finance task force, dalam hal ini Indonesia yang diwakili Ibu Menteri Keuangan akan menjadi salah satu co-chair,” terang Hari.

Sementara Doddy menambahkan di tahun 2021 melalui G20 OECD Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting diperoleh kesepakatan mekanisme alokasi profit dari perusahaan-perusahaan multinasional ke negara lain sehingga dapat menjadi basis pengenaan pajak di negara-negara yang menjadi pasar dari transaksi digital.

Selain itu juga ada kesepakatan mengenai besaran minimum tarif pajak bagi perusahaan multinasional yaitu sebesar 15 persen. Melalui inisiatif ini, tercatat 139 negara bekerja sama untuk membuat sistem pajak yang lebih adil dan mencegah penghindaran pajak.

“Kesepakatan ini tentu saja sangat membantu untuk menjamin keadilan atau fairness dan menjawab tantangan di era ekonomi digital,” ucap Doddy.

Yang juga tak kalah penting dalam menjaga stabilitas global adalah upaya antisipasi ancaman krisis, seperti krisis perubahan iklim. Untuk memitigasi risiko akibat perubahan iklim G20 mendorong adanya Paris Agreement on Climate Change pada 2015 dan juga agenda pembangunan berkelanjutan 2030. Kesepakatan tersebut mewadahi komitmen negara-negara untuk berpartisipasi mengimplementasikan kebijakan pengurangan emisi gas rumah kaca.

Bahasan G20 menjadi semakin luas, tak terbatas pada isu keuangan saja, tapi juga isu antisipasi ancaman krisis perubahan iklim. (Sumber: Istock)

G20 dan Covid-19

Pada awal 2020 dunia mulai digoncangkan oleh badai pandemi Covid-19. Shock besar dirasakan seluruh negara terlebih negara miskin dan berkembang. G20 hadir merespons krisis kesehatan yang berefek domino ke seluruh sektor kehidupan masyarakat ini. Peran sentra G20 dirasakan oleh negara-negara terdampak dalam penanganan krisis pandemi Covid-19. Antara lain melalui inisiasi paket stimulus fiskal maupun moneter yang menurut Doddy lebih terkoordinasi dan memiliki skala sangat besar. Di samping peningkatan kapasitas IMF dan World Bank serta berbagai lembaga keuangan dan pembangunan lainnya dalam mendukung negara-negara terdampak.

Yang tidak kalah penting, Doddy menambahkan sepanjang krisis Covid-19 G20 pada umumnya juga cukup aktif membantu negara miskin dan berkembang salah satunya melalui inisiatif penundaan pembayaran kewajiban utama bagi negara miskin atau biasa disebut sebagai inisiatif debt service suspension initiatif (DSSI).

Di samping itu, G20 mendorong kelancaran perdagangan lintas batas, utamanya ketika terjadi ketidakseimbangan antara suplai dan distribusi alat medis termasuk vaksin sewaktu puncak gelombang Covid terjadi. Meski Doddy mengakui distribusi vaksin ke negara miskin dan berkembang masih belum optimal. “Tapi setidaknya upaya dorongan G20 untuk meningkatkan produksi dan distribusi vaksin ini membantu mengatasi sebagian dari masalah itu,” ujarnya.

Penanganan pandemi Covid-19 memang masih menjadi PR bersama. Kepala Departemen Ekonomi CSIS dan Co-chair T20 Indonesia, Yose Rizal Damuri menyarankan agar G20 lebih optimal dalam mengimplementasikan komitmen peningkatan produksi dan akses distribusi vaksin Covid-19. Ini penting disegerakan karena akses vaksin Covid-19 yang tidak seimbang berimbas kepada pemulihan ekonomi global yang juga tidak seimbang yang kemudian dapat berdampak pada stabilitas ekonomi global yang tidak berkelanjutan.

Yose juga menyinggung beban utang negara miskin dan berkembang yang meningkat akibat pandemi sehingga perlu dicarikan exit strategy untuk mengatasinya agar tidak menambah risiko keuangan global.

Di samping itu Yose memberi masukan G20 agar mendorong penyelarasan prosedur keluar masuk dari tiap-tiap negara. “Sebetulnya G20 sangat bisa berperan sekali untuk mendorong supaya paling tidak prosedur dan kelengkapan yang dibutuhkan itu menjadi lebih harmonis dibandingkan dengan masing-masing saja,” ungkap Yose.

Ke depan masih banyak yang harus dilakukan terkait penanganan pandemi. Tingkat risiko ketidakpastian Covid-19 yang masih tinggi juga menjadi tantangan tersendiri dalam pemulihan pascakrisis. Meski demikian, di balik segala tantangan tersebut, kita patut optimis dengan implementasi komitmen atas kesepakatan G-20 yang tentunya membawa angin segar bagi pemulihan ekonomi global.

Hari menyampaikan bahwa sekitar awal November 2021 University of Toronto mengeluarkan laporan mengenai tingkat implementasi komitmen atas keketuaan (Presidensi) G20 Arab Saudi di tahun 2020 yang terbilang cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu di atas 80 persen.

“Nah itu kan menunjukkan bahwa dalam kondisi pandemi, atau mungkin justru malah karena kondisi pandemi, sehingga drive untuk mengambil langkah-langkah yang decisive untuk mengatasi pandemi menjadi semakin kuat dan itu berdampak pada peningkatan pelaksanaan komitmen dari G20 itu sendiri,” pungkas Hari.


CS. Purwowidhu