Pulang ke Timur Bersama Maria Regina Jaga, Alumni LPDP Penggerak Pendidikan Anak Usia Dini

15 Januari 2024
OLEH: Irfan Bayu
Pulang ke Timur Bersama Maria Regina Jaga, Alumni LPDP Penggerak Pendidikan Anak Usia Dini. Foto oleh Irfan Bayu P.
Pulang ke Timur Bersama Maria Regina Jaga, Alumni LPDP Penggerak Pendidikan Anak Usia Dini. Foto oleh Irfan Bayu P.  

Usia dini adalah masa paling penting dalam pertumbuhan karena 90% perkembangan otak anak tercapai di usia 5 tahun. Saat ini sudah mulai menjamur sekolah yang mengembangkan pendidikan untuk anak usia dini. Namun karena luasnya wilayah Indonesia, dengan berbagai topografi, budaya dan kebiasannya, tantangan dalam mengembangkan pendidikan di setiap daerah juga berbeda pula. Seperti yang dirasakan Maria Regina Jaga, salah satu alumni beasiswa LPDP yang saat ini tengah berusaha membantu perbaikan pendidikan di kampung halamannya di Nusa Tenggara Timur lewat aksi dan ide-ide barunya.

Maria Regina Jaga, adalah salah satu wanita asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Wanita tangguh kebanggaan NTT ini sekarang bekerja menjadi dosen di Universitas Katolik Widya Mandira Kupang. (Foto: Dok. Pribadi)

Pendidikan Anak Usia Dini

Maria Regina Jaga, adalah salah satu wanita asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Wanita tangguh kebanggaan NTT ini sekarang bekerja menjadi dosen di Universitas Katolik Widya Mandira Kupang. Background pendidikannya adalah seorang sarjana dalam bidang pendidikan Bahasa Inggris. Namun, Inja, panggilan akrabnya, selalu kritis dan menyimpan banyak keresahan tentang sistem pendidikan di daerahnya, terutama tentang pendidikan anak usia dini.

Inja sendiri adalah salah satu alumni LPDP, lulusan Auburn University, Amerika Serikat, dengan spesifikasi pada Early Childhood Education yang membidangi dan mengurus secara lebih spesifik berkaitan dengan bagaimana implementasi pembelajaran yang cocok untuk pendidikan anak usia dini. Ketika ditanya kenapa dia memilih jurusan yang sedikit berbeda, Inja berdalih bahwa hal itu merupakan salah satu passionnya sekaligus keresahannya. “Alasan saya memilih proses belajar yang sedikit lebih berbeda itu berkaitan dengan situasi dan kondisi yang terjadi di daerah saya. Saya juga punya momen dimana masa kecil saya, kami tidak mendapatkan secara proper atau secara baik proses belajar untuk anak-anak. Kami langsung diarahkan untuk belajar sesuatu yang mempersiapkan kami untuk karir atau mempersiapkan kami untuk belajar hal-hal yang ada di pendidikan dasar. Berbeda dengan pendidikan anak usia dini, di mana yang dipersiapkan adalah mental emosionalnya. Dan itu tidak ada di Indonesia timur di zaman saya,” terang Inja.

Menurutnya saat ini lebih banyak orang seharusnya lebih spesifik memberi perhatian pada proses pendidikan anak pada usia dini. Hal itulah yang menjadi salah satu semangat Inja mencari ilmu di negeri orang. “Terlepas dari segala alasan itu, saya kemudian berpikir kalau pendidikan anak usia dini belum dijadikan bagian dari proses pembelajaran yang penting untuk ditekuni kalau bukan saya, siapa lagi? Jadi saya punya passion untuk.. yah kalau gitu saya harus pergi keluar menyerap ilmu sebanyak-banyaknya dan kembali ke daerah untuk bisa mempraktekkan apa yang saya dapat di luar,” jelas penerima beasiswa LPDP tahun 2017 ini.

Namun, akhirnya Inja sadar bahwa seharusnya ketertinggalan, keterbatasan, dan cerita tentang masalah yang dihadapinya seharusnya digunakan sebagai nilai tambah dalam proses seleksi dan disatukan dengan solusi yang akan dilakukan. (Foto: Dok. Pribadi)

Beasiswa untuk orang timur

Dalam proses mendapatkan beasiswa tersebut Inja awalnya dihadapkan oleh anggapan bahwa untuk mendapatkan beasiswa LPDP terlalu previlege untuknya dan untuk orang-orang timur pada umumnya. Saat sosialisasi LPDP di kampusnya, Inja mulai tertarik ketika salah satu perwakilannya berkata jika semua orang punya kesempatan yang sama untuk berkompetisi. “Saya sedikit ragu di awalnya ketika mengikuti seleksi ini karena kata “beasiswa” saja sudah merujuk pada orang-orang cerdas, sudah merujuk pada hanya segelintir orang saja yang mungkin bisa dapat beasiswa ini. Tapi saya pikir peluang tidak akan pernah datang dua kali. Jadi saya menguji keberuntungan saya. Dan ya, Puji Tuhan dengan usaha dan niat disertai dengan doa, saya dapat beasiswa itu di tahun 2017,” kenang Inja diselingi senyum.

Tentu saja tidak mudah dalam prosesnya sampai dia mendapatkan beasiswa LPDP, terutama untuk melawan rasa rendah diri karena merasa orang-orang yang punya peluang untuk mendapatkan beasiswa LPDP adalah orang-orang yang telah bermakna atau orang-orang yang telah memiliki sesuatu yang luar biasa di bidangnya sehingga dia pantas mendapatkan beasiswa itu. Namun, akhirnya Inja sadar bahwa seharusnya ketertinggalan, keterbatasan, dan cerita tentang masalah yang dihadapinya seharusnya digunakan sebagai nilai tambah dalam proses seleksi dan disatukan dengan solusi yang akan dilakukan. Hal itulah yang akhirnya membawa Inja mendapatkan beasiswa ke Amerika Serikat.

Banyak hal yang dia pelajari di negeri Paman Sam itu. Pertama, Inja menyadari bahwa dia harus banyak beradaptasi dengan sistem pendidikannya. Negeri tempat ia menimba ilmu sangat menekankan disiplin dan mendorongnya untuk meningkatkan alokasi waktu untuk membaca. Selain itu, di sana Inja merasa lebih bisa mengeksplorasi dirinya. Dia mendapatkan lebih banyak ruang untuk berdiskusi, menyampaikan pendapat serta ide, serta menerima berbagai insight baru dari teman-temannya. Pengaplikasian teknologi di sana juga lebih optimal, dan yang terakhir adalah kepercayaan diri. Inja merasa kultur, budaya dan tradisi kuat yang dibawanya dari Indonesia adalah poin plus untuknya selama menempuh pendidikan disana. “Sambil saya belajar hal baru berkaitan dengan kemajuan teknologi, saya memperkenalkan adat dan budaya. Saya juga membawa ide bahwa sebenarnya apa yang ada di sekitar kita berupa buku bacaan, cerita rakyat, kemudian games tradisional itu bisa dikolaborasikan dengan teknologi. Nah saya menggunakan itu, saya memadukan dan menjadikan itu sebagai tulisan terakhir saya pada saat S2,” terang Inja dengan suara tegasnya.

Usaha Inja membuahkan hasil. Ia lulus dan mendapat gelar masternya dengan IPK sempurna. Karena kecemerlangannya, beberapa perusahaan di sana menawarkan pekerjaan dengan gaji fantastis padanya, namun semua tawaran ditolaknya. (Foto: Dok. Pribadi)

Pulang ke Timur

Usaha Inja membuahkan hasil. Ia lulus dan mendapat gelar masternya dengan IPK sempurna. Karena kecemerlangannya, beberapa perusahaan di sana menawarkan pekerjaan dengan gaji fantastis padanya, namun semua tawaran ditolaknya.

Saya baru benar-benar belajar apabila ilmu yang saya pakai itu saya bawa pulang dan saya jadikan sebagai solusi atas problem yang ada di daerah saya,” tegas Inja. “Ilmu saya akan mati kalau hanya akan dipakai oleh saya sendiri. Segala sesuatu mungkin yang dianggap biasa-biasa saja di luar negeri akan menjadi sangat luar biasa buat orang yang membutuhkan. Jadi saya harus pulang. Uang bisa saya cari, berkat tidak saja semata-mata berupa uang, tapi berkat adalah ketika kamu tahu bahwa apa yang kamu pelajari bermakna dan berguna buat orang lain,” sambungnya.

Jauh sebelum itu, Inja adalah adalah pengajar pendidikan luar sekolah. Sejak tahun 2013, Inja menjadi seorang volunteer di daerah tambang mangan. Mangan adalah salah satu unsur bahan baku dalam pembuatan baterai, biji besi, dan lain sebagainya. Namun bukan tambang besar, hanya tambang kecil yang dipenuhi masyarakat kecil yang mencari sedikit rezeki. Di daerah tambang tersebut terdapat sebuah PKBM atau Pusat Kegiatan Belajar Mengajar, di mana terdapat program kejar paket A, B dan C atau setara SD, SMP dan SMA. Inja bertugas untuk mengajar Bahasa Inggris.

Tetapi, kesadaran untuk sekolah di sana masih rendah. Mayoritas orang-orang di sekitar tambang tersebut cenderung mengambil kesempatan untuk bekerja sebaik-baiknya dan memenuhi kebutuhan daripada harus bersekolah. “Orangtua, ayah, ibu, sampai anak-anak di dalam keluarga itu wajib bekerja karena uangnya instan. Saat itu ketika mereka timbang batu mangan, uangnya langsung ada,” terang Inja.

Setiap jam 12 siang, semasa istirahat, Inja mengajak anak-anak untuk naik ke bukit dan bermain “sikidoka”, semacam permainan engklek yang biasa dimainkan anak-anak di sana. (Foto: Dok. Pribadi)

Belajar lewat Sikidoka

Inja mengaku kesulitan pada awal dia mengajar, “kesulitannya adalah sebagian besar anak-anak yang akan ikut ujian paket, itu mereka punya gap yang cukup besar dari ketika mereka selesai atau putus sekolah sampai dengan akan ujian lagi. Jadi mereka benar-benar wadah yang kosong. Mereka tidak ingat lagi bahasa Inggris seperti apa, sementara mereka harus diuji menggunakan bahasa Inggris,” terang wanita berambut ikal itu.

Selain itu, pada tiga bulan pertama mengajar,  Inja mendapat penolakan karena dianggap sebagai wartawan yang menyamar yang akan membongkar praktik ilegal pertambangan tersebut karena memang tambang tersebut tidak memiliki safety equipment untuk pekerjanya. Ketika para orang tua di daerah tambang tersebut menolaknya, Inja tak menyerah dan beralih ke anak-anaknya. Inja sempat bingung bagaimana menggunakan media pembelajaran seperti vocabulary card untuk membantu anak belajar, kemudian dia terpikir untuk menggunakan permainan tradisional.

Setiap jam 12 siang, semasa istirahat, Inja mengajak anak-anak untuk naik ke bukit dan bermain “sikidoka”, semacam permainan engklek yang biasa dimainkan anak-anak di sana. Bukan sekadar bermain, Inja memasukkan pelajaran vocabullary di dalamnya. Responnya luar biasa, anak-anak sangat antusias. “Anak-anak itu tanpa diminta pun mereka pulang dengan antusias bercerita tadi kami belajar tentang ini, belajar tentang ini, terus dia mulai tunjuk benda-benda di dalam rumah. Oh ini. Terus papa dan mamanya tanya, kamu belajar dari mana? Oh sama Ms Inja yang tadi datang,” cerita Inja yang juga pernah menjadi presenter di TVRI NTT ini.

Tanpa mereka sadari, dalam sehari mereka bisa belajar 10 sampai 30 vocabulary baru bahasa Inggris yang pada akhirnya akan dipakai pada saat mereka ujian nanti. Dari yang awalnya hanya 3 anak, kemudian semakin hari semakin bertambah hingga 58 anak yang bergabung. Orangtua mereka pun lama-lama melunak dan mengijinkannya walau hanya di saat jam istirahat siang saja. “Jadi saya tidak bisa merubah batu yang besar, tapi saya dapat menempa batu yang kecil untuk bisa dibentuk sesuai dengan yang saya harapkan,” terangnya.

Inja saat ini tengah berada di Jakarta. Ia sedang mengikuti kursus bahasa bersama teman-teman calon awardee LPDP dari daerah timur lainnya sebagai persiapannya ke Amerika untuk belajar kembali mengejar program doktornya. (Foto: Irfan Bayu P.)

Belajar dan Berdampak

Inja saat ini tengah berada di Jakarta. Ia sedang mengikuti kursus bahasa bersama teman-teman calon awardee LPDP dari daerah timur lainnya sebagai persiapannya ke Amerika untuk belajar kembali mengejar program doktornya. Inja akan mengambil konsentrasi di Language Science and Human Development yang spesifikasinya adalah membantunya mempelajari bagaimana mengembangkan kurikulum untuk pendidikan anak usia dini yang bisa dipadupadankan dengan kultur budaya dan tradisi. “Saya ingin menulis dalam disertasi saya bagaimana saya akan melakukan penelitian dan pulang ke daerah untuk merekrut dan mengkonservasi kembali semua cerita rakyat dan permainan tradisional yang akan saya bakukan ke dalam kurikulum. Jadi produk akhir saya adalah kurikulum yang menitikberatkan pada pembelajaran inklusif,” jelas Inja.

Impian besar Inja adalah bisa mendirikan sebuah foundation yang mampu membantu orang-orang di bidang pendidikan anak usia dini. “Karena di NTT masih banyak rekrutmen guru PAUD yang tidak punya basic pendidikan anak usia dini. Saya mau menyediakan yayasan atau tempat di mana kita mewadahi mereka dengan training, dengan pelatihan yang bersertifikasi yang setara dengan S1 pendidikan anak usia dini,” jelas Inja. “Ketika mereka mendapat akreditasi, credibility mereka terbukti melalui sertifikasi itu, mereka bisa turun ke lapangan dan membantu mempersiapkan anak-anak usia dini dengan lebih proporsional dan lebih baik. Dibandingkan hanya tamat SMA terus “eh ngajar dong” tapi tidak punya basic itu sama sekali,” tambahnya.

Hal itu menurut Inja sudah semakin penting karena makin banyak orang yang menyadari jika umur satu sampai lima tahun adalah masa emas dalam tumbuh kembang. Jika pada masa itu perkembangan mental, emosional, dan belajarnya bisa diarahkan dan difasilitasi maka akan menghasilkan generasi penerus yang lebih berkualitas.

Selain itu, minimnya pengajar PAUD juga jadi masalah. “Pada tahun 2017 itu, yang benar-benar punya magister S2 PAUD, itu baru 2 orang, saya dan kakak saya yang saat ini sedang S3 (LPDP) di Oregon. Itu baru dua orang seprovinsi, bayangkan,” kata wanita yang juga punya gelar Magister Bahasa Inggris itu. Bahkan menurutnya saat ini sebagian besar guru PAUD hanya lulusan SMP dan SMA. “Saya mungkin tidak akan menjadi orang yang terjun langsung ngajar anak-anak, tapi saya bisa membantu mempersiapkan kandidat-kandidat yang akan turun mengajar anak-anak. Jadi ilmu yang saya dapat, saya bagikan kepada mereka untuk mengajar anak-anak,” terangnya.

Inja hanya satu dari banyaknya wanita berprestasi di Indonesia. Menurutnya wanita juga pantas dan layak untuk bisa memperoleh pendidikan tinggi. (Foto: Dok. Pribadi)

Pesan Inja

Inja hanya satu dari banyaknya wanita berprestasi di Indonesia. Menurutnya wanita juga pantas dan layak untuk bisa memperoleh pendidikan tinggi. “Sekalipun dia (Ibu Inja) besar dalam kultur timur yang keras, tapi Ibu saya sangat mendukung kami anak-anaknya untuk bisa mendapatkan pendidikan yang sebesar-besarnya. Bukan tentang gelar, bukan. Kita boleh berpendidikan, kita boleh meraih cita-cita dan kita boleh mewujudkan mimpi kita. Kalau laki-laki punya kesempatan dan porsi yang begitu besar, berarti perempuan juga. Karena tanggung jawab dan beban mau memajukan daerah atau negara itu tidak terletak semata-mata di pundak lelaki saja. Kalau bisa bekerja sama, kenapa harus berjalan sendiri-sendiri?” kata Inja.

Inja juga berpesan pada generasi muda yang sedang berjuang menentukan arah langkah mereka ke depan. “Yang pertama, jangan pernah berhenti belajar, jangan pernah berhenti berusaha. Ketika kamu gagal itu sebenarnya bukan sebuah kemunduran, tapi itu sebenarnya adalah sebuah tarikan ke belakang yang akan memastikan bahwa anak panahmu akan semakin kencang melaju ke depan,” pesan Inja. “Yang kedua adalah kalau kamu niat, kalau kamu memang fokus mengerjakan sesuatu dan kamu yakin dan kamu minta pada semesta bahwa ini adalah sesuatu yang akan kamu buat dengan kebaikan banyak orang, kerjalah, berusahalah, dan doakan. Itu pasti akan ada jalannya,” sambungnya lagi.

Terakhir Inja juga berterima kasih pada Kemenkeu dan LPDP. “Saya mau mewakili teman-teman penerima beasiswa afirmasi batch 1 tahun 2023 mau mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kementerian Keuangan melalui LPDP yang memberikan kami anak-anak Indonesia Timur kesempatan mewujudkan mimpi kami, mewujudkan cita-cita kami. Semoga Kementerian semakin dapat memberi ruang dan kesempatan untuk orang-orang di luar sana yang sementara berjuang dan ingin meraih mimpi seperti kami yang sudah satu langkah di depan mereka. Mereka tidak tertinggal. Mereka hanya belum mendapatkan,” pungkasnya.


Artikel Lain
TELUSURI


Alat Pembayaran Digital Pemerintah Dorong Efisiensi Belanja dan Inklusi Keuangan. Ilustrasi oleh Irfan Bayu.
Alat Pembayaran Digital Pemerintah Dorong Efisiensi Belanja dan Inklusi Keuangan. Ilustrasi oleh Irfan Bayu.  


Bersama Atasi Perubahan Iklim. Infografis soleh Tubagus P.
Bersama Atasi Perubahan Iklim. Infografis soleh Tubagus P.