Harmonisasi APBN dan APBD Optimalkan Manfaat Bagi Masyarakat

16 Juni 2023
OLEH: Reni Saptati D.I.
Harmonisasi APBN dan APBD Optimalkan Manfaat Bagi Masyarakat
 

Pada tahun 2022, ekonomi dunia tengah mengalami perlambatan, tetapi kinerja ekonomi Indonesia justru mencatat angka pertumbuhan sangat baik sebesar 5,3 persen. Ekonomi semua daerah di Indonesia saat itu bangkit dan tumbuh positif. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, perekonomian beberapa daerah bahkan tumbuh di atas capaian nasional, di antaranya Sulawesi (7,1 persen), Jawa (5,3 persen), serta Maluku dan Papua (8,7 persen). Ekonomi Bali dan Nusa Tenggara juga terus membaik dan berhasil tumbuh 5,1 persen, sejalan dengan pelonggaran mobilitas dan kebangkitan pariwisata.

Capaian itu tak lepas dari peran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai shock absorber dalam menghadapi ketidakpastian situasi ekonomi. Selama masa pandemi, APBN dan APBD menjalankan fungsinya dengan baik sebagai instrumen countercyclical dan melindungi masyarakat dari dampak pandemi.

Peran Transfer ke Daerah (TKD) juga sangat krusial bagi kebangkitan ekonomi daerah. Selama dua dekade terakhir, anggaran TKD terus meningkat dari waktu ke waktu. Pada 2022, anggaran TKD mencapai Rp769,6 triliun. Sementara pada tahun 2023, penyaluran TKD direncanakan sebesar Rp814,7 triliun. Anggaran TKD juga menjadi porsi terbesar bagi pemasukan daerah dalam penyusunan APBD. Hampir 70 persen sumber pendapatan APBD di daerah berasal dari TKD.

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Luky Alfirman menjelaskan struktur APBD terdiri atas pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan. Pendapatan daerah meliputi komponen pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Di dalam komponen PAD terdapat pajak daerah dan retribusi daerah yang merupakan sumber pendapatan pemerintah daerah itu sendiri dari wajib pajaknya.

Lebih lanjut, Luky menyebut TKD dari pemerintah pusat menjadi salah satu sumber pendapatan bagi daerah. Saat ini, mayoritas pemda masih memiliki ketergantungan yang besar terhadap TKD. Luky berharap ke depannya, ketergantungan daerah terhadap TKD makin berkurang.

“Kita ingin daerah terus menggali potensi pajak daerahnya dan memperbesar potensi PAD-nya. Oleh sebab itu, beberapa waktu lalu kita baru saja meloloskan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD). Salah satu pilar UU HKPD adalah bagaimana memperkuat local taxing power, yaitu kemampuan memungut pajak daerah,” tutur pria yang mendapatkan gelar Doctor of Philosophy (PhD) ini Economics di University of Colorado tersebut.

UU HKPD atau UU Nomor 1 Tahun 2022 merupakan revisi atas UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Implementasi atas UU HKPD diharapkan dapat memperkuat pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia melalui perbaikan kualitas output dan outcome layanan publik serta pemerataan kesejahteraan rakyat di seluruh daerah.

Selain menguatkan sistem perpajakan daerah atau local taxing power, UU HKPD juga memiliki tiga pilar lain, yakni meminimumkan ketimpangan vertikal dan horizontal, meningkatkan kualitas belanja daerah, dan harmonisasi belanja pusat dan daerah.

Dukung penguatan sistem pajak daerah

UU HKPD menjadi sebuah kebijakan yang membawa optimisme untuk perbaikan pelaksanaan desentralisasi fiskal. DPR mengesahkan UU HKPD pada awal tahun 2022. Namun, Luky menyebut tahun 2023 menjadi tahun pertama penerapan UU HKPD. Ia mengatakan saat ini pemerintah tengah menyusun aturan turunannya, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Atas 21 amanat PP dalam UU HKPD, pemerintah melakukan simplifikasi dan integrasi menjadi enam PP.

“Kita sudah mengeluarkan satu PP tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Tenaga Listrik (PP Nomor 4 Tahun 2023). Kita juga sudah memproses PP-PP yang lain, misalnya terkait dengan Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit, Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan Transfer ke Daerah. Dalam waktu dekat bisa kita selesaikan dan terbitkan sebagai acuan bagi pemda untuk melaksanakan UU HKPD,” ungkap Luky panjang lebar.

Menurut Luky, salah satu pekerjaan rumah terbesar pemda saat ini dalam kaitannya dengan implementasi UU HKPD yakni harus menyusun dan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) baru terkait dengan pajak daerah dan retribusi daerah selambatnya 4 Januari 2024.

“Artinya pemda memiliki tujuh hingga delapan bulan ke depan untuk dapat menyusun dan menyelesaikan aturan tersebut,” ujar Luky.

Penguatan sistem perpajakan daerah adalah salah satu pilar utama UU HKPD. Oleh sebab itu, Kementerian Keuangan dan pemda bekerja sama agar daerah benar-benar mampu meningkatkan sistem pajak daerahnya. Apalagi, banyak daerah yang mempunyai potensi besar di sektor pajak daerah, tetapi belum dapat merealisasikannya dengan baik.

Luky mengatakan pihaknya juga melakukan sosialisasi, edukasi, dan pendampingan kepada pemda agar nantinya dapat menerapkan UU HKPD dengan baik. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan memiliki hotline center yang menampung dan melayani banyak pertanyaan dari pemda.

“Melalui hotline center, kita mencoba membantu dan memberi asistensi kepada pemda-pemda. Jika belum tuntas, kita bisa melakukan video conference untuk berinteraksi lebih baik lagi. Jika mereka ingin tatap muka, kita juga bisa menyediakan fasilitas tersebut. Intinya, kita selalu siap membantu pemda terkait dengan penerapan kebijakan dalam UU HKPD,” tegas Luky.

Peningkatan kualitas belanja daerah

Jumlah anggaran TKD terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Akan tetapi, kenaikan anggaran tersebut belum diikuti dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat yang signifikan. Disinyalir, salah satu faktor penyebabnya adalah kualitas belanja yang belum efektif dan efisien.

Selain itu, berdasarkan hasil evaluasi, tata kelola keuangan daerah juga masih belum optimal. Anggaran daerah masih banyak habis digunakan untuk belanja birokrasi. Sebagian besar dana TKD digunakan untuk anggaran belanja pegawai. Padahal, seharusnya dana TKD dapat dioptimalkan untuk pembangunan daerah. Realisasi belanja APBD pun selama ini dirasa cukup lambat. Misalnya, sampai dengan tahun 2023, realisasi APBD baru mencapai 20,3 persen. Angka tersebut bahkan lebih rendah dibanding capaian tahun sebelumnya pada periode yang sama, yakni 22,9 persen.

Luky menjelaskan adanya tren penurunan tersebut dipengaruhi oleh adanya momen lebaran dan cuti bersama yang cukup panjang pada bulan April 2023 sehingga efektif hari kerja menjadi lebih pendek. Hal tersebut menyebabkan lebih sedikitnya hari kerja untuk memproses pengelolaan belanja di daerah. Namun, ia juga mengakui bahwa tren belanja secara umum belum linier.

“Tren belanja cenderung lebih besar di kuartal empat. Ini yang harus selalu kita dorong, khususnya kepada pemerintah daerah, agar mereka dapat mempercepat belanja mereka,” tutur Luky.

Menurut Luky, selama ini pemerintah pusat telah menyalurkan TKD dalam beragam instrumen, yaitu Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus Fisik, Dana Alokasi Khusus Non-Fisik, Dana Otonomi Khusus dan Keistimewaan, dan Dana Desa. Anggaran yang telah disalurkan tersebut menjadi sisi penerimaan daerah.

“Uangnya sudah ada di daerah dan belanja ini harus terus didorong. Dana pemerintah daerah di perbankan masih banyak. Seharusnya dana tersebut bisa terus digelontorkan dan memberi multiplier effect untuk perekonomian masyarakat,” Luky menjelaskan.

Lebih lanjut, ia menerangkan belanja daerah kini tak hanya bicara soal kuantitas, tetapi juga kualitas. Belanja daerah harus dapat digunakan dengan tepat dan memberikan manfaat untuk rakyat. Pihaknya selama ini juga turut terlibat dalam proses pengawasan TKD untuk memastikan bahwa masyarakat daerah benar-benar mendapatkan manfaat dari berbagai instrumen TKD yang sudah disalurkan.

“Kita ingin memperbaiki kualitas belanja daerah atau spending better. Kita ingin memastikan kualitas belanjanya itu memang tepat sasaran, tepat jumlah, dan tepat waktu. Intinya, bagaimana belanja itu bisa memberikan manfaat untuk masyarakat setempat, bisa memberikan kemakmuran untuk rakyat,” tegas Luky.

Melalui UU HKPD, instrumen kebijakan untuk meningkatkan kualitas belanja daerah akan diupayakan melalui penguatan penganggaran dan pelaksanaan APBD, penguatan sumber daya manusia, dan penguatan pengawasan internal. Melalui upaya tersebut, nantinya diharapkan tata kelola daerah menjadi lebih efektif, efisien, dan disiplin. Ditjen Perimbangan Keuangan juga melalukan joint monitoring bersama dengan Kementerian Dalam Negeri atas penyaluran TKD. Selain itu, penggunaan teknologi juga terus ditingkatkan untuk mempercepat sekaligus memperbaiki proses pengawasan penyaluran TKD.

Sinergi pusat dan daerah

Belanja pemerintah pusat dan daerah tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Luky menegaskan bahwa seluruh pihak perlu bekerja sama untuk meningkatkan harmonisasi dan sinergi antara kebijakan belanja pemerintah pusat dan daerah.

“Kita harus menghindari adanya duplikasi dan overlapping. Kita ingin memberikan belanja itu dinikmati oleh rakyat, baik dari pemerintah pusat ke daerah maupun belanja daerah itu sendiri,” terang Luky.

Menurutnya, harmonisasi harus dilakukan di setiap tahapan, mulai dari perencanaan, eksekusi, sampai pengawasan. Seluruh proses tersebut harus dilakukan secara lebih harmonis melalui kolaborasi dan kerja sama pemerintah pusat dan daerah. Di sisi perencanaan, pemerintah pusat telah menyusun Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) yang nantinya akan menjadi pembicaraan pendahuluan dalam pembahasan APBN.

“Lalu, bagaimana kita mensinkronkan APBN dan APBD? Di tahap pertama tadi kita memiliki KEM PPKF sebagai acuan menyusun APBN. Sekarang kita memiliki chapter khusus yang mengatur tentang KEM PPKF regional dan menjadi acuan bagi pemerintah daerah untuk menyusun Kebijakan Umum APBD dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS) atau semacam KEM PPKF versi daerah,” jelas Luky.

Ia melanjutkan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus mensinkronkan program. Misalnya, program yang menjadi prioritas nasional adalah mengurai kemiskinan. Maka, program tersebut harus terefleksikan di dalam skema APBD. Tak hanya itu, berbagai kementerian/lembaga sesuai tugasnya masing-masing juga perlu berkoordinasi untuk meningkatkan kualitas perencanaan, pembinaan, dan pengawasan di daerah.

Dengan implementasi UU HKPD, Luky berharap kesejahteraan masyarakat yang lebih merata dan inklusif dapat terwujud. Menurutnya, TKD yang anggarannya sekitar sepertiga APBN harus benar-benar berdampak atau impactful bagi masyarakat. Ditjen Perimbangan Keuangan berkomitmen untuk terus bergerak dan bekerja lebih baik lagi untuk memastikan bahwa anggaran tersebut memberikan dampak dan bisa dinikmati oleh rakyat.

“Yang paling penting, ketika sudah sampai ke daerah, anggaran tersebut kemudian dibelanjakan untuk membiayai program-program yang memberikan dampak positif sebesar-besarnya untuk rakyat,” pungkas Luky. 


Reni Saptati D.I.