Suluh Fiskal di Rimba Raya

1 Februari 2022
OLEH: Aditya Wirananda
Suluh Fiskal di Rimba Raya
 

Nama Rimba Raya yang disematkan rupanya tak semata-mata karena lokasi Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) ini berada di tengah belantara. Lebih dari itu, Rimba Raya dipilih sebagai pengingat atas peran Radio Rimba Raya dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

 

Menjaga kedaulatan dari belantara

Pada penghujung 1948, Belanda melancarkan agresi militer. Akibatnya, sejumlah tokoh penting ditahan dan sejumlah kota diduduki Belanda. Pusat pemerintahan lumpuh. Radio-radio Belanda gencar mengabarkan bahwa Indonesia telah habis dikuasai. Kabar itu tersiar juga sampai ke Aceh.

Untuk melawan propaganda Belanda, Rimba Raya yang masih dapat beroperasi, gencar mengabarkan bahwa Indonesia masih ada ke masyarakat internasional. Siaran radio itu tertangkap di sejumlah negara, termasuk Australia dan India, yang pada akhirnya membantu mendesak Belanda melalui PBB. Kala itu, Radio Rimba Raya tidak berhasil ditemukan oleh Belanda karena lokasinya tersembunyi dan berada di tengah belantara di kaki gunung Geureudong.

Sebagai upaya merawat ingatan atas jasa yang penting itu, nama Rimba Raya disematkan pada KP2KP yang berlokasi di pusat kabupaten Bener Meriah. “Walaupun sebenarnya Rimba Raya itu dari sini sekitar 40 kilometer ya,” ujar Andi Nugraha, Kepala KP2KP Rimba Raya.

Stasiun radio itu kini masih ada kendati tak lagi menggunakan pemancar yang sama dengan yang digunakan pada masa agresi militer. “Di tempat itu sekarang dibuat tugu sebagai peringatan,” ujar pria kelahiran Bandung ini. Tugu Perjuangan Radio Rimba Raya berlokasi di Kampung Rimba Raya, Kecamatan Pintu Rime Gayo.

Jauh dari kota

Kantor dengan empat pegawai ini punya wilayah kerja meliputi seluruh wilayah kabupaten Bener Meriah yang terdiri atas 10 kecamatan. Kabupaten ini terletak 85 kilometer di selatan Bireuen. Sedangkan dari Banda Aceh, kabupaten ini berjarak lebih dari 300 kilometer atau sekitar enam jam perjalanan darat ke arah tenggara. Dari kabupaten inilah kopi Gayo berasal.

Kendati hasil komoditas perkebunan begitu besar di kabupaten ini, Andi mengatakan bahwa mayoritas penerimaan masih berasal dari instansi pemerintah. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa mayoritas perkebunan kopi di Bener Meriah dikelola bukan oleh badan usaha melainkan perorangan.

Satwa masuk kota

Ihwal nama Rimba Raya yang tersemat pada nomenklatur kantor di bawah komandonya, Andi mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, sensasi rimba itu masih ada. “(Hutan) masih banyak,” ia melanjutkan, “Masih banyak hewan liar, rusa liar, harimau pun.” Beberapa waktu sebelumnya, harimau bahkan sempat masuk ke perkampungan.

Sedangkan di area Rimba Raya sendiri, yang merupakan bagian kecamatan Pintu Rime Gayo, Andi mengatakan masih banyak gajah liar. “Jadi kalau gajah liar melintas di jalan besar itu nggak aneh,” ujarnya. “Jadi di sini, kalau disebut rimba itu adalah hutan, hutan belantara itu betul masih (hutan),” ujarnya.

Meski demikian, terkait adaptasi, baik dirinya maupun pegawainya saat pertama kali ditugaskan relatif tidak mengalami gegar budaya yang berarti. “Di sini tuh adem. Jadi ya masyarakatnya pun adem,” ujarnya.

 Ia mengatakan penduduk asli Bener Meriah cenderung memiliki pola bersosialisasi yang mirip dengan kebanyakan masyarakat di Jawa. Ia mengatakan, “Gayo pun seperti di Jawa, hanya mungkin beda bahasa.”

Sedangkan terkait infrastruktur, Andi mengatakan sarana di Bener Meriah relatif memadai. “Rata-rata di sini jalan itu bagus ya. Mulus lah,” ujarnya. Kendati untuk menuju wilayah kerja tertentu yang jauh dari pusat kabupaten, Andi mengatakan sejumlah titik masih belum beraspal dan rawan longsor.