Surplus Jaga Lingkungan Beroleh Cuan dari Makanan Berlebih

16 Desember 2022
OLEH: Dimach Putra
Surplus Jaga Lingkungan Beroleh Cuan dari Makanan Berlebih
 

Di tengah kepedulian terkait isu ketahanan pangan yang makin tinggi, ada fakta mengejutkan yang mungkin belum banyak orang tahu. Indonesia merupakan negara penyumbang sampah pangan terbesar ke-2 di dunia.  Menurut sebuah kajian dari BAPPENAS yang rilis di tahun 2021, terdapat 23 – 48 juta ton makanan terbuang sia-sia per tahunnya. Kerugian ekonomi akibat hal itu ditaksir mencapai Rp 213 - 551 triliun/tahun. Hal tersebut tentu menggelitik beberapa pihak untuk bergerak.

Salah satu penggeraknya adalah Muhammad Agung Saputra yang kemudian mendirikan  Surplus Indonesia. Ia dan tim meluncurkan sebuah aplikasi penjualan makanan berlebih layak konsumsi dari mitra yang terdiri dari UMKM dan industri Horeka (hotel, restoran, kafe) ke para konsumen dengan potongan harga. Bagaimana kisahnya? Berikut petikan wawancara kami:

 

Bisa dijelaskan apa itu Surplus Indonesia?

Bisa dibilang Surplus Indonesia ini adalah climate tech startup sekaligus social enterprise. Kami berfokus untuk mengatasi permasalahan sampah makanan (food waste and  food loss) di Indonesia. Caranya adalah dengan menghubungkan para pelaku usaha seperti restoran, kafe, hotel dan para pelaku UMKM yang mempunyai produk berlebih dengan kondisi aman dan layak ke konsumen. Barang-barang tersebut kemudian akan dijual setengah harga ke pembeli di jam-jam tertentu.

Ada beberapa jenis produk yang kami bantu jual. Pertama, produk berlebih (overstock), lalu barang-barang layak konsumsi namun kurang sempurna untuk standard display supermarket (imperfect). Ketiga, barang-barang yang mendekati masa kedaluwarsa. Di Industri retail, produk-produk tersebut akan ditarik dan dilakukan proses retur tiga bulan menjelang expired. Itu yang menurut kami menjadi penyumbang sampah makanan terbesar karena akan dibuang sia-sia. Belum ada regulasi yang kuat dalam menanganinya.

Surplus Indonesia hadir dan dikenal sebagai aplikasi food rescue dan food waste prevention. Pengguna layanan kami merasa sangat terbantu dengan kehadiran kami. Mereka bisa merasakan makanan enak dari hotel atau restoran dengan harga yang lebih ramah di kantong. Rata-rata mereka berasal dari kalangan pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga atau siapapun yang ingin berhemat. Tak hanya menikmati makanan yang lezat, mereka juga sekaligus membantu menyelamatkan lingkungan.

 

Sebagai pionir di bidangnya, bagaimana ide membuat Surplus Indonesia ini tercetus?

Berawal dari kisah personal saya sendiri yang menghabiskan masa kecil selama 10 tahun di Jayapura, Papua. Perbedaan yang terbesar selain pendidikan adalah kelangkaan pangan. Hal ini saya sadari saat merantau ke Jawa untuk melanjutkan studi di bangku SMA. Dari yang saya lihat saat ke toko, supermarket dan mal, suplai produk di Jawa sangat berlimpah bahkan cenderung berlebih. Barang yang di etalase terlihat masih penuh bahkan menjelang toko tutup. Hal ini berbeda dari yang saya saksikan di Papua.

Dari situ saya melihat adanya potensi kerentanan pangan. Ancaman terhadap ketahanan pangan akan meningkat seiring bertambahnya populasi manusia jika tidak dibarengi perubahan perilaku kita dalam mengelola makanan. Kelangkaan pangan akan terjadi yang kemudian memicu kemiskinan, stunting, kriminalitas dan lain sebagainya. Itu alasan personal dari perbedaan yang saya lihat dan alami saat hidup di Papua dan Jawa. Di Papua, kami benar-benar makan apa yang memang ada saat itu.

Kepedulian tersebut makin diperkuat dengan background saya yang memang bergerak di bidang sustainability. Latar belakang pendidikan saya dari S1 Biologi Institut Teknologi Bandung dan master di bidang teknologi lingkungan Imperial College London. Di sana saya mempelajari bahwa sampah makanan ini pelan-pelan akan membunuh negara karena kerugian yang ditimbulkan tidak main-main nilainya.

Karena itu, saya coba memikirkan bagaimana cara agar tercipta win-win solution. Harapannya saat itu agar pengusaha tidak merugi (karena stok yang berlebih), konsumen tergerak kesadarannya menyelamatkan lingkungan, dan Bantar Gebang tidak makin penuh dengan sampah organik yang telah mencapai 60% dari total komposisinya.

 

Seperti apa kisah awal pendirian Surplus Indonesia?

Awalnya saya mulai sendiri dengan menciptakan komunitas kecil di Februari 2020. Komunitas kami saat itu menyuarakan anti food waste di car free day  yang saat itu digelar setiap hari Minggu di sepanjang Thamrin-Sudirman Jakarta. Setelah itu pandemi datang. Hal ini justru memvalidasi ide bisnis Surplus. Saat PSBB dan PPKM berlangsung, para pengusaha diminta beroperasi di jam yang terbatas sehingga mengakibatkan overstock yang makin banyak.

Sepanjang 2020 itu kami memasuki tahap ideation berupa riset dan perancangan terkait aplikasi seperti apa yang ingin kami buat. Kami baru benar-benar meluncurkan aplikasi Surplus ke publik di pertengahan 2021. Setelah kurang lebih 1.5 tahun berjalan, kami berhasil menggandeng lebih dari 2500 mitra dan telah menjaring sekitar 100 ribu pengguna aktif aplikasi ini. Mitra dan konsumen Surplus tersebar di 11 Kota yaitu Jakarta, Bogor, Depok Tangerang, Bekasi, Solo, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang dan Bali.

Kami memiliki visi untuk menciptakan lingkungan tanpa food waste sebagai langkah untuk mendukung Sustainable Development Goals (SDGs)  terutama tujuan nomor 2 (zero hunger), nomor 12 (responsible consumption and production) dan nomor 13 (climate action). Motto kami adalah ”Great food should be eaten, not wasted!”. Untuk mencapai tujuan itu kami sangat membutuhkan dukungan lebih banyak orang. Sampai saat ini kami terus bertumbuh secara organik, didukung oleh para milenial dan generasi Z yang memiliki visi dan misi sama. Karena bisa relate, mereka secara sukarela membagikan informasi tentang gerakan kami di sosial media.

Surplus Indonesia berawal dari komunitas yang menyuarakan gerakan anti food waste. (Dok. Surplus Indonesia)


Seperti apa tanggapan pelanggan dan mitra terhadap kehadiran Surplus?

Alhamdulillah kami diterima dengan sangat baik. Awalnya memang banyak yang skeptis dengan konsep baru yang kami tawarkan karena mengira bahwa barang yang dijual tidak laku dan basi. Setelah mereka menggunakan sendiri, stigma negatif di awal berubah menjadi positif dan ditularkan ke lingkungan terdekat mereka. Kesadaran mereka juga meningkat tentang pentingnya mengkonsumsi overstock sebagai penyumbang utama sampah pangan.

Di sisi pelaku usaha kami akui belum sepenuhnya menerima kami. Kami masih mendapat penolakan dari mereka yang belum terbiasa dengan konsep ini. Banyak penjual yang merasa bahwa membuang makanan sisa adalah cara mudah yang tercepat. Belum adanya regulasi kuat terkait pengelolaan sampah pangan ini sehingga tidak ada kewajiban bagi mereka untuk bergabung dengan kami atau memikirkan solusi lain.

Kami merasa terpanggil untuk terus memberikan edukasi pada para pelaku usaha untuk memiliki kesadaran terhadap pengelolaan sisa makanan tersebut. Selain membantu lingkungan, mereka dapat menambah pundi-pundi pendapatan karena stok makanan berlebih akan tetap berpotensi terjual melalui Surplus.

 

Lalu, bagaimana Surplus mengatasi tantangan tersebut?

Kami tidak menyerah dan terus melakukan pendekatan door to door atau lewat telepon ke para pelaku usaha. Awalnya kami lakukan sendiri, namun kini kami juga mendapat bantuan dari asosiasi, komunitas, himpunan pelaku usaha serta dari pemerintah daerah maupun kementerian/lembaga. Pihak-pihak ini membantu memberikan informasi ke anggota binaannya tentang keuntungan bermitra dengan kami. Dengan bergabung dengan Surplus, mereka dapat menekan kerugian hingga 80% menurut testimoni dari banyak mitra kami.

Makanan yang terbuang dari pelaku usaha itu sama dengan mereka membuang modal usahanya sendiri. Sedangkan di Surplus, setidaknya 50% dari harga jual itu sudah bisa menutup harga pokok produksi. Selain cuan, mereka juga bisa menjaga lingkungan. Testimoni dan data itu yang kami gunakan untuk menarik lebih banyak pelaku usaha untuk menjadi mitra.

 

Apa yang menjadi jaminan kelayakan terhadap overstock yang dijual di Surplus?

 

Pertama, sebelum bergabung Mitra harus menyetujui perjanjian sekaligus ketentuan bahwa produk yang dijual harus masih layak konsumsi. Kami juga ingin menekankan bahwa produk di Surplus semua dijual sebelum tutup toko. Jadi semuanya masih sangat layak dan dijamin oleh para mitra. Kedua, kami juga meminta sertifikasi terkait higienitas produk seperti HACCP, CHSE, maupun kuesioner mengenai SOP produk dan sebagainya.

 

Ketiga, kami juga melakukan random visit ke mitra-mitra. Kami akan mendatangi tempat mereka tanpa pemberitahuan untuk mencoba makanan, mewawancarai mitra, dan melakukan penilaian lainnya. Kami juga memiliki kebijakan untuk mem-freeze akun mitra yang mendapat komplain kelayakan produknya. Sampai saat ini kami masih zero complaint. Intinya kami berkomitmen untuk melakukan asesmen secara berkala untuk menjamin produk yang dijual di platform kami.

 

Muh. Agung Saputra, CEO dan Co-Founder, saat memaparkan dampak Surplus Indonesia di ajang Pahlawan Digital UMKM. (Dok. Surplus Indonesia)

Surplus Indonesia baru menyabet juara pertama Pahlawan Digital UMKM, seperti apa kisahnya?

Alhamdulillah 7 Desember 2022 lalu kami baru mendapat prestasi tersebut dari acara yang digelar oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah bekerja sama dengan beberapa pihak. Terdapat lebih dari 300 startup yang mendaftar, lalu disaring menjadi 50 peserta, kemudian mengerucut menjadi 20 peserta ke 14 peserta hingga terpilih 10 peserta yang bisa melakukan presentasi di hadapan dewan juri. Dari tahapan itu kami berhasil masuk tiga besar hingga akhirnya terpilih menjadi juara pertama. Proses seleksinya memakan waktu 2 - 3 bulan.

Penilaian dari dewan juri menitik beratkan pada dampak bagi pelaku UMKM serta juga keberlanjutan model bisnis dan ekosistem yang dijalankan dan terus berdampak bagi para pelaku usaha. Final acara tersebut dilangsungkan di Posbloc sehingga kami bisa memberikan contoh dan testimoni langsung dari mitra-mitra kami yang kebetulan menjadi tenant  di sana. Kami juga menyajikan data bahwa Surplus mampu membantu menyelamatkan lebih dari 30 ton makanan, mencegah kerugian ratusan juta dari 2500 pelaku usaha, dan potensi gas CO2 sebesar 350 ton. Itu contoh dampak nyata kehadiran Surplus bagi pelaku UMKM.

 

Apa harapan terkait keberlanjutan Surplus Indonesia ke depan?

Tentunya kami berharap bisa go nasional, tidak hanya teman-teman di Jawa dan Bali saja yang bisa merasakan kehadiran kami. Semoga jutaan UMKM dan ratusan ribu Horeka di luar Jawa dan Bali bisa bergabung agar lebih memasifkan gerakan ini. Rencana ke depan kami ingin menembus Sumatera, seperti kota Medan dan kota-kota lain di Kalimantan dan Sulawesi yang populasinya banyak. Setelah itu kami akan masuk ke kota-kota tier 2 dan 3, bahkan sampai ke Papua dalam 2-3 tahun ke depan.

 

Kami sudah menerima aspirasi dari teman-teman di beberapa kota agar Surplus bisa hadir di daerah mereka. Permintaannya sangat banyak, tapi tentu kami butuh mitra untuk bergabung dulu agar bisa  mewujudkannya. Tantangannya seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya dan komitmen kami dalam menjaga kualitas serta higienitas produk tidak bisa ditawar. Semoga ke depan kami dapat mengajak banyak mitra di berbagai kota untuk bergabung sehingga Surplus Indonesia dapat dinikmati juga oleh lebih banyak pengguna. Saya mengajak bagi siapa saja yang ingin turut peduli mengurangi sampah makanan sekaligus membantu para pelaku usaha menekan kerugian dapat mendukung kami dengan menjadi pengguna aktif aplikasi Surplus.

Pengguna dapat mengunduh aplikasi Surplus di Appstore dan Playstore untuk berperan aktif mendukung gerakan anti food waste.

Dimach Putra