Bibit Unggul Pemimpin Bangsa

4 Oktober 2023
OLEH: Susandijani dan Mohamad Ikhwan Maulana
J.B. Sumarlin, saat masih menjadi mahasiswa UI di rumah kos Rawamangun tahun 1957. Foto dari dokumentasi pribadi.
J.B. Sumarlin, saat masih menjadi mahasiswa UI di rumah kos Rawamangun tahun 1957. Foto dari dokumentasi pribadi.  

Jenjang tinggi pendidikannya tak diperoleh dengan mudah. Tapi, pesan sang kakek, tak boleh malas dan manja jadi senjata mumpuni menyelesaikan pendidikannya dengan cemerlang. 

Suatu hari usai dikhitan, perasaan Sumarlin kecil sangat bahagia.  Saat itu, ia banyak memiliki uang. Maklum saja, pada saat seorang anak dikhitan, biasanya memang para tamu, kerabat dan saudara memberinya uang hadiah.Dengan uang banyak yang tak pernah dimiliki sebelumnya itu, Sumarlin berpikir tak perlu sekolah lagi. Perasaannya itu disampaikan pada sang kakek Toedjo Towinangoen. Tapi, sang kakek mengingatkannya. Antara lain disebut soal nasib saudara-saudaranya yang tidak sekolah, berbeda dengan kehidupan sang paman yang bersekolah tinggi. Hal itu diceritakan kembali oleh anak ketiganya, Antonius Widyatma atau biasa disapa Antonius.

 "Di masa itu hampir semua anak bekerja di sawah. Bapak awalnya juga ke sawah, ingin membantu ibunya. Tapi dia posturnya kecil, makanya (kakeknya mengirimnya) ke sekolah," ungkap Antonius. 

Sumarlin kecil berada pada masa kodrat perempuan terbelenggu di "dapur, sumur, kasur". Bagi keluarga petani, selain mengemban "kodrat" itu, anak perempuan juga harus ikut ke sawah atau kebun setiap hari. Tanpa terkecuali, Karmilah, sang ibu. Kebanyakan "orang tua dulu" berpikir hanya anak laki-laki yang dibiayai untuk bersekolah. Dari enam anak kakek Tedjo, dua di antaranya laki-laki. Tapi hanya Paman Moekidjam yang minat bersekolah tinggi. 

Jika ingin berhasil dan bisa membantu ibumu, “Kamu harus bisa sekolah lebih tinggi daripada pamanmu,” kata sang kakek, antara lain, seperti ditulis dalam buku Cabe Rawit yang Lahir di Sawah yang ditulis Bondan Winarno, 2012. Kalimat itulah yang kemudian membuat Sumarlin terus menekuni pendidikannya sampai jenjang tertinggi, tak peduli kerikil menghadang dari segala jurusan. 

Bangku sekolah yang pertama dikenal Sumarlin lokasinya di Desa Jatimalang. Jaraknya satu kilometer dari rumah sang kakek di Ngadiredjo, tempatnya tinggal. Sekolah desa atau volkschool Jatimalang hanya sampai kelas tiga. Dari sana, Sumarlin lanjut kelas empat-lima di vervolgschool Desa Sentul, yang jaraknya 10 kilometer dari rumah Kakek Tedjo. Lalu ke vervolgschol Desa Sananwetan, Blitar, menamatkan sekolah pada 1944. Semua ditempuhnya dengan berjalan tanpa alas kaki.

Usai tamat sekolah, Sumarlin ikut ujian sekolah guru di Rampal, Malang Jawa Timur.  Ini demi meringankan beban sang ibu yang membiayai banyak anaknya. Tapi, meski hasilnya lulus dengan angka terbaik, lagi-lagi sang kakek tak setuju jika Sumarlin mencari nafkah sebagai guru, karena masih kecil. Sang kakek menyuruhnya ikut Paman Moekidjam yang akan membiayai sekolah lanjutannya di Kediri.

J.B. Sumarlin di Berkeley, Amerika Serikat 1959. (Foto: Dok. Pribadi)

Bukan Anak Manja

Di kota yang kemudian dikenal dengan julukan Kota Santri, Kota Tahu dan Kota Rokok, Sumarlin "ngenger" atau menumpang di keluarga Paman Moekidjam. Sang paman membiayai sekolahnya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama pada zaman kolonial Belanda. 

Namun, seperti dikisahkan Antonius, untuk itu Sumarlin juga harus rela mengerjakan tugas rumah tangga. Seperti membersihkan halaman yang luas, menimba air dari sumur kerek, hingga menyetrika pakaian keluarga sang paman, sebelum dan setelah sekolah. Akibatnya, prestasi belajar bintang kelas dari Blitar itu drop. Karena ingat petuah sang kakek untuk tidak manja dan jangan malas, pelan-pelan prestasi belajarnya naik lagi. Ini setelah ia berhasil beradaptasi dan belajar hingga larut malam, setiap hari.

Saat Republik Indonesia menyatakan kemerdekaannya, Sumarlin lulus dari MULO. Prestasinya yang memuaskan, membuat wali kelasnya, Haroen, memberikan hadiah buku pada Sumarlin. Selanjutnya, ia hijrah ke kota Yogyakarta mengikuti keluarga pamannya yang mendapat tugas dalam pembentukan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) bersama Komodor Soerjadarma dan teman-temannya. Saat itu, sedang terjadi aksi militer Belanda. Sumarlin pun terpaksa stop sekolah menengah atas (SMA) dan ikut berjuang bersama sang paman.

Sumarlin ikut aktif di Pandu Rakyat Yogyakarta V dan organisasi lain, termasuk Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) bersama Radius Prawiro, Pramuka, dan Palang Merah Indonesia (PMI). Di PMI tugasnya mengangkut gerilyawan dan tentara yang terluka ke rumah sakit. Sumarlin juga bergabung sebagai Tentara Pelajar Batalyon 14 Sub-WK 103B yang markasnya di Desa Brajan (barat Yogyakarta), yang dikenal sebagai Pasukan Gerilya TNI Wehrkreis III. Saat itu Sumarlin tercatat sebagai penghubung kota (kurir). “Karena badannya kecil, dia diberi tugas yang pegang peluru saja dan menjadi kurir,” kisah Antonius. 

Selama menjadi kurir, Sumarlin punya ide agar lolos pemeriksaan tentara Belanda. Salah satunya menyembunyikan dokumen dalam pipa kerangka sepeda, tepat di bawah sadel. Saat itu, misinya aman. Meski selalu berhasil, Sumarlin akhirnya ditangkap pada Februari 1949, gara-gara namanya ada pada daftar dalam buku gerilya. Buku yang ditemukan tentara Belanda di salah satu rumah penduduk. Tak terbayang bagaimana perasaannya saat ditahan. Apalagi saat itu satu per satu rekan-rekannya ditembak tentara Belanda.

Sumarlin dibebaskan berkat jasa Ibu Wiharto, pemilik rumah yang menjadi markas PMI di Wirobrajan. Ibu yang fasih berbahasa Belanda itu menjelaskan kepada Belanda bahwa Sumarlin adalah anak muda yang menjalankan misi kemanusiaan di PMI. Tuduhan ekstrimis kepada Sumarlin pun dicabut. 

Selama masa gerilya, kutip buku Cabe Rawit yang lahir di Sawah, Sumarlin sudah sembilan kali ditangkap.

Setelah pembebasan dari tangsi Belanda di Pathoek itu, ia sempat ikut dalam Serangan Oemoem 1 Maret 1949, sebelum kembali ke bangku kelas dua SMA-nya di akhir 1949. Namun, belum tuntas SMA-nya, sang paman keburu pindah ke Jakarta untuk bertugas sebagai Kepala Bagian Keuangan AURI.  

Di Jakarta, Sumarlin masuk kelas tiga SMA di Jalan Budi Utomo, Jakarta, yang dikenal banyak melahirkan pemimpin gerakan nasional pada masa lalu. Begitu lulus pada 1952, Sumarlin langsung bekerja di NV Sar’s Industry milik pensiunan AURI, Sarwedi. Dua tahun bekerja sebagai pegawai distribusi dan administrasi, Sumarlin mendapat celah mendaftar dan diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI) pada 1954 dan membiayai sendiri kuliahnya. Meski dia juga harus berkomitmen dengan pekerjaannya, kuliah diikutinya dengan pembagian waktu ketat. Yaitu, kuliah pagi dua hari dalam seminggu, selebihnya ditempuh dengan kuliah malam. Hal tersebut dimungkinkan, karena saat itu, UI masih menganut pola studi bebas. 

Dengan otaknya yang encer, serta kemauan belajarnya yang tinggi, Sumarlin selalu mendapat nilai terbaik di setiap mata kuliah. Bahkan tingkat satu diselesaikannya dalam waktu delapan bulan, dan mengikuti ujian sarjana muda pada tahun berikutnya. Kecemerlangannya sebagai mahasiswa, jelas terekam sang dekan, Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Guru besar yang satu ini dikenal piawai mengenali bakat orang-orang yang akan menentukan nasib perekonomian Indonesia. 

Hal terjadi juga pada Sumarlin. Ketika lulus dengan nilai prima di mata kuliah Ekonomi Pembangunan, Prof. Sumitro pun meminta Sumarlin menjadi tutor dan membantu para mahasiswa yang akan ujian mata kuliah tersebut. Bahkan kemudian diminta menjadi asisten dosen. Saat itu Sumarlin yang dikenal sebagai asisten dosen termuda.

Sejak menjadi asisten dosen, Sumarlin mulai diterima dalam pergaulan para aktivis mahasiswa. Ia bahkan menjadi bendahara di Dewan Mahasiswa yang diketuai Emil Salim. Setelah lulus dan diwisuda menjadi sarjana pada April 1958, Drs. Sumarlin kemudian menjadi dosen tetap di FE Ekonomi UI.


Susandijani dan Mohamad Ikhwan Maulana