Penuhi Hak Anak, Ciptakan Negara Ramah Anak

16 Juli 2023
OLEH: CS. Purwowidhu
Penuhi Hak Anak, Ciptakan Negara Ramah Anak
 

Children are the living messages we send to a time we will not see”- John F. Kennedy

Dua puluh dua tahun mendatang tepatnya di tahun 2045, Indonesia akan genap berusia satu abad. Seberapa besar nilai investasi yang saat ini ditanam untuk meningkatkan kualitas hidup anak Indonesia, baik dari aspek kesehatan, pendidikan, perlindungan, nilai-nilai, karakter, bahkan rasa aman, akan menjadi penentu kegemilangan negeri ini di era emasnya nanti, bahkan untuk masa-masa selanjutnya.

Butuh atensi berbagai pihak

Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Negara menjamin hak-hak anak tersebut dalam UUD 1945, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, dan Konvensi Hak-Hak Anak.

Pemerintah dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024 juga menekankan kebijakan untuk meningkatkan kualitas hidup anak dengan menciptakan negara ramah anak serta memperkuat sistem keuangan pemerintah yang responsif terhadap pemenuhan hak-hak anak sesuai keragaman budaya dan kondisi geografis yang ada.

Namun demikian, pemenuhan hak anak masih menjadi PR besar. Tingginya kasus kekerasan terhadap anak misalnya, menunjukkan pemenuhan hak anak atas perlindungan masih harus terus ditingkatkan. Pada kurun Januari hingga 17 Juli 2023 saja Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat, jumlah kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia mencapai 8.332 kasus dengan tiga jenis kasus terbanyak berupa kekerasan seksual, psikis, dan fisik. Kekerasan tersebut tentu berdampak pada kesehatan mental anak, yang ke depannya juga akan mempengaruhi performa individu saat berada di usia produktif.  

Sementara, dari segi populasi, berdasarkan Buku Profil Anak Indonesia 2022 yang dirilis KemenPPPA, jumlah anak Indonesia (usia 0-17 tahun) mencapai 29,15 % atau diperkirakan sebanyak 79.486.424 jiwa, yakni sepertiga dari total penduduk Indonesia di 2021.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyampaikan pemenuhan hak anak dengan populasi yang terbilang besar tersebut membutuhkan sinergi dan kolaborasi yang kuat antarpemangku kepentingan.

“Tentunya keberhasilan dalam memastikan kesejahteraan anak adalah hasil dari seluruh Kementerian/Lembaga yang berkontribusi sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing,” ujar Bintang.

Bintang lanjut menjelaskan kesejahteraan anak Indonesia dapat ditinjau melalui tingkat kualitas fisik maupun mental anak. Setidaknya ada lima indikator kesejahteraan anak mengacu pada Konvensi Hak Anak yaitu dimensi kelangsungan hidup, perlindungan, tumbuh kembang, partisipasi, dan identitas.

Berdasarkan Indeks Komposit Kesejahteraan Anak (IKKA) yang diterbitkan KemenPPPA bekerja sama dengan BPS, indeks kesejahteraan anak Indonesia pada kurun 2015 hingga 2018 menunjukkan kemajuan dari angka 64,0 pada 2015, naik menjadi 70,5 pada 2018.

Sementara, pada 2021, pemenuhan hak anak dari sisi identitas cukup tinggi yang ditandai dengan persentase kepemilikan akta kelahiran yang mencapai 88,42 persen. Capaian tersebut didorong dengan adanya kemudahan pengurusan akta kelahiran, pembuatan akta kelahiran gratis, hingga program jemput bola dari pemerintah.

Kendati demikian, pemenuhan hak anak di berbagai area pembangunan lainnya menurut Bintang masih perlu ditingkatkan. Tingkat keberhasilan tersebut juga sangat bergantung pada tingkat kesejahteraan hidup keluarga dan faktor ekonomi, khususnya di daerah tertinggal.

Persoalan kesejahteraan anak sangat erat hubungannya dengan kualitas pendidikan keluarga, tingkat ekonomi, pendapatan daerah, dan akses terkait dukungan sarana prasarana untuk kemajuan anak (Foto: Resha Aditya)

Dari sisi aksesibilitas anak dalam memperoleh pendidikan berbasis informasi teknologi (IT) misalnya, diperoleh data bahwa persentase anak mengakses internet di Provinsi DI Yogyakarta mencapai 93,83% atau empat kali lebih tinggi dibandingkan Provinsi Papua yang hanya sebesar 21,84 persen.

Keterbatasan akses digital tersebut menurut Bintang akan berbanding lurus dengan angka putus sekolah, tingkat kekerasan terhadap anak, akses kesehatan dan partisipasi ragam budaya.

Sebab itu, Pemerintah terus berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah yang memiliki tingkat problematika anak tinggi akibat tingginya angka kemiskinan atau kesenjangan di daerah tersebut.

“Karena persoalan kesejahteraan anak sangat erat hubungannya dengan kualitas pendidikan keluarga, tingkat ekonomi, pendapatan daerah, dan akses terkait dukungan sarana prasarana untuk kemajuan anak,” papar Bintang.

Dia juga menjelaskan pentingnya masing-masing daerah untuk melakukan intervensi yang berbeda dalam memastikan kesejahteraan anak, sesuai dengan permasalahan anak di wilayah masing-masing.

Ia mencontohkan berdasarkan data misalnya tingkat akses internet paling rendah berada di Papua, angka perkawinan anak tertinggi terjadi di Sulawesi Barat, dan jumlah kasus stunting paling besar ada di NTT. Sementara hak partisipasi anak paling rendah terjadi di Papua Barat, Kalimantan Selatan, dan Banten.

Hal lain yang tak kalah penting dalam upaya mensejahterakan anak menurut Bintang adalah sosialisasi dan publikasi mengenai pentingnya pemenuhan hak-hak anak mulai dari lingkup terkecil yaitu orang tua, keluarga, hingga masyarakat luas.

“Peran lintas sektor diperlukan dalam pemenuhan hak kesejahteraan anak,” ucap Bintang.

Di samping itu, Bintang berpendapat pentingnya menyamakan persepsi terkait konsep perlindungan anak antara Pemerintah pusat dan daerah. Sehingga implementasi kebijakan anak di pusat maupun daerah dapat berjalan harmonis.

10 Hak Anak Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak PBB 1989 (Infografis: Tubagus)

Berani bersuara, selamatkan anak

Perempuan dan anak merupakan kelompok yang rentan mengalami kekerasan, baik secara fisik, psikis, seksual, penelantaran, hingga Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Sebab itu, diperlukan partisipasi dan kepedulian tinggi dari seluruh masyarakat untuk melindungi anak Indonesia.

Negara pun tak luput turun tangan dalam kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak. Salah satunya melalui layanan pengaduan Sahabat Perempuan dan Anak 129 (SAPA 129) yang diimplementasikan oleh KemenPPPA sejak tahun 2021. Layanan SAPA 129 telah menjadi rujukan masyarakat dalam melayangkan pengaduan atas kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak.

Sistem pelaporan SAPA 129 bisa diakses melalui hotline 021-129 atau Whatsapp 08111-129-129. Bukan hanya korban kekerasan yang bisa melaporkan langsung kejadian yang dialami melalui nomor kontak layanan tersebut. Namun, masyarakat yang mengetahui, melihat, atau mendengar kasus kekerasan yang terjadi di sekeliling mereka pun bisa langsung melaporkan peristiwa tersebut ke SAPA 129.

Terdapat enam standar pelayanan dalam SAPA 129, yaitu pelayanan pengaduan masyarakat, pengelolaan kasus, penjangkauan korban, pendampingan korban, mediasi, dan penempatan korban di rumah aman.

Untuk memenuhi kebutuhan akan kemudahan akses layanan pengaduan dan perlindungan perempuan dan anak yang komprehensif di pusat maupun daerah, termasuk Anak yang Perlu Mendapatkan Perlindungan Khusus (AMPK), mulai tahun ini hingga 2025 mendatang, KemenPPPA melakukan pengembangan integrasi layanan SAPA 129 ke 34 Provinsi di Indonesia.

Bintang berharap dengan adanya layanan SAPA 129, masyarakat semakin dimudahkan dalam melaporkan kekerasan yang terjadi terhadap anak. Semakin banyak orang yang berani angkat suara mengenai kekerasan terhadap anak, semakin banyak anak yang akan terselamatkan.

Kian berdaya karena terlindungi

Menindaklanjuti arah kebijakan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak periode 2019-2024 antara lain penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak, penurunan pekerja anak, dan pencegahan perkawinan anak, KemenPPPA mengimplementasikan sejumlah program prioritas.

Di samping menggencarkan layanan pengaduan, KemenPPPA juga merintis Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA). Sekitar dua pertiga penduduk desa adalah perempuan dan anak, sehingga membangun desa dari segala aspek akan berdampak positif bagi perempuan dan anak.

DRPPA merupakan model desa yang mengintegrasikan perspektif gender dan hak anak ke dalam tata kelola pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat desa, yang dilakukan secara terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan.

Desa menurut Bintang harus memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakatnya, khususnya perempuan dan anak. Di samping memenuhi hak perempuan dan anak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Serta menyediakan sarana dan prasarana publik yang ramah perempuan dan anak.

Sebuah desa dapat dikatakan ramah anak antara lain jika semua anak di desa tersebut mendapatkan pengasuhan berbasis anak; tidak ada kekerasan terhadap perempuan dan anak; tidak terdapat korban tindak pidana perdagangan orang; tidak terdapat pekerja anak; dan tidak terjadi perkawinan anak.  

Tak berhenti di situ, dalam mendukung pencapaian target peningkatan kesejahteraan anak,  KemenPPPA melakukan intervensi di berbagai lini. Antara lain dengan meningkatkan peran Forum Anak sebagai Pelopor dan Pelapor (2P). Forum Anak merupakan organisasi binaan KemenPPPA untuk menjembatani komunikasi pemerintah dengan anak-anak di seluruh Indonesia guna memenuhi hak partisipasi anak. Forum Anak juga menjadi indikator terwujudnya Kabupaten/Kota Layak Anak.

Peran anak sebagai pelopor berarti anak mampu mengajak dan membantu lingkungan sekitarnya bergerak ke arah positif. Sedangkan anak sebagai pelapor berarti anak aktif menyampaikan pendapat atau pandangan ketika mengalami, melihat, atau merasakan hak-hak mereka tidak terpenuhi.

Sementara di tingkat keluarga, intervensi dilakukan melalui pembentukan pusat-pusat Pembelajaran Keluarga.  Selanjutnya, intervensi melalui satuan pendidikan ditempuh lewat kebijakan Sekolah Ramah Anak. Lingkungan di sekeliling anak pun tak terlewatkan untuk diintervensi melalui inisiasi beragam fasilitas umum ramah anak.  Yang terakhir intervensi pada tingkat wilayah (region), yang diimplementasikan melalui kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA).

32 Hak Anak Berdasarkan UU No.35 Tahun 2014 (Infografis: Tubagus)

Asa untuk anak Indonesia

Setiap tanggal 23 Juli, Indonesia memperingati Hari Anak Nasional. Tanggal tersebut bertepatan dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Hari anak juga dimaknai sebagai bentuk kepedulian bangsa Indonesia terhadap perlindungan anak agar tumbuh dan berkembang secara optimal dengan mendorong keluarga menjadi lembaga pertama dan utama dalam memberikan perlindungan kepada anak. 

Menyongsong peringatan hari anak mendatang, Menteri Bintang menyampaikan sejumlah asa untuk anak Indonesia. Bintang berharap anak-anak Indonesia berani bermimpi dan berjuang mewujudkan mimpi mereka. Bersekolah diyakini menjadi jembatan terbaik untuk mewujudkan mimpi-mimpi anak Indonesia.

“Sangat sulit bagi anak-anak kita keluar dari lingkaran kemiskinan dan keterbelakangan tanpa pendidikan,” ujarnya.

Bintang juga berpesan agar anak Indonesia mampu menguasai teknologi dan menggunakannya dengan cara positif.

“Jadilah pelopor dan pelapor dalam upaya perlindungan anak. Gunakan teknologi sebagai alat perjuangan untuk mewujudkan mimpi dan cita-cita,” sambungnya.

Anak-anak Indonesia yang berjumlah sepertiga dari total penduduk Indonesia, juga akan memegang peranan strategis ketika 100 tahun Indonesia merdeka di tahun 2045.

“Oleh karena itu, kita mengharapkan calon pemimpin bangsa ke depan tersebut menjadi generasi emas yang cerdas, sehat, unggul, berkarakter dan dalam suka cita yang bersendikan kepada nilai-nilai moral yang kuat,” pungkas Bintang.


CS. Purwowidhu