Ekonomi Indonesia Resilien di Tengah Pelemahan Ekonomi Global. APBN Kita Menjadi Instrumen Peredam Guncangan.

5 November 2023
OLEH: Dara Haspramudilla
Ekonomi Indonesia Resilien di Tengah Pelemahan Ekonomi Global. APBN Kita Menjadi Instrumen Peredam Guncangan. Foto oleh Dodi Achmad.
Ekonomi Indonesia Resilien di Tengah Pelemahan Ekonomi Global. APBN Kita Menjadi Instrumen Peredam Guncangan. Foto oleh Dodi Achmad.  

Kondisi ekonomi global sedang dihadapkan pada tantangan dan risiko ketidakpastian yang meningkat. Situasi ini berdampak pada kondisi di Indonesia yang mempengaruhi nilai tukar, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi. Bahkan, gejolak global ini juga berefek pada sektor keuangan yang akan berdampak pada sektor riil. 

Negara-negara dengan ekonomi yang besar seperti Amerika Serikat, Republik Rakyat Tiongkok, dan Eropa juga mengalami dinamika yang penuh tekanan. Di Amerika serikat, volatilitas pasar keuangannya mengalami lonjakan yield hingga di atas 5 persen. Ini adalah kondisi pertama kali terjadi sejak tahun 2007. Dampaknya tentu saja tidak hanya untuk Amerika Serikat sendiri, tetapi juga seluruh dunia. Amerika Serikat masih cenderung akan menaikkan suku bunga sehingga semakin banyak investor yang membeli surat berharganya. Aliran arus modal asing akan lebih banyak mengarah ke Amerika Serikat.  

Situasi yang penuh tekanan juga membayangi zona ekonomi di kawasan Eropa. Tekanan geopolitik seperti konflik antara Ukraina dan Rusia, lalu saat ini perang antara Israel dan Palestina memberikan efek negatif terutama dari harga energi. Efek dominonya adalah dari sisi suku bunga di Eropa yang akan dinaikkan dalam periode yang lama. 

“Zona ekonomi atau perekonomian terbesar ketiga yaitu Eropa kawasan juga tidak mengalami situasi yang mudah. Bagaimana inflasi masih tinggi dan dengan adanya perang Ukraina dan sekarang juga dengan geopolitik yang terjadi dengan perang Palestina-Israel memberikan dampak potensi terhadap harga minyak atau energi. Ini kita semua tahu akan menyumbangkan inflasi sehingga Central Bank di Eropa itu cenderung akan hawkish atau keras di dalam menentukan policy rate mereka. Suku bunga akan tinggi atau dinaikkan dalam waktu yang cukup lama. Dan ini mengancam perekonomian Eropa yang akan masuk ke zona resesi,” papar Menteri Keuangan dalam Konferensi Pers APBN Kita Oktober. 

Pertumbuhan ekonomi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang melambat juga menjadi salah satu kondisi yang patut diwaspadai. Ini akan berdampak dan mempengaruhi pertumbuhan ekspor Indonesia. 

“Sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia, RRT merupakan motor dari pertumbuhan ekspor dari banyak negara termasuk Indonesia. Banyak negara yang ekspor ke RRT sehingga pelemahan ekonomi di RRT pasti akan mempengaruhi pertumbuhan ekspor kita,” terang Menkeu. 

Keseluruhan kondisi tersebut berakibat pada direvisinya proyeksi ekonomi global tahun 2023 dan 2024 oleh beberapa lembaga internasional. Proyeksi pertumbuhan ekonomu tahun 2024 terus direvisi ke bawah. World Economic Outlook pada bulan Oktober 2021 menunjukkan bahwa pada tahun 2024 seharusnya pertumbuhan ekonomi tumbuh 3,4 persen dengan skenario pemulihan ekonomi. Namun, pada bulan Oktober 2022 direvisi turun ke 3,2 persen dan pada bulan April 2023 menjadi hanya 3 persen hingga akhirnya direvisi lagi ke angka 2,9 persen pada Oktober 2023. 

Kondisi Ekonomi Indonesia di tengah Ketidakpastian Ekonomi Global 

Ketidakpastian global ini tentu saja berdampak pada kegiatan manufaktur di banyak negara yang menurun dan berada pada zona kontraktif. Selain itu, harga minyak dunia juga menjadi titik krusial terutama di tengah konflik geopolitik yang sedang terjadi.  

Kita lihat 70,8 persen dari negara-negara yang diobservasi dari sisi PMI-nya, mayoritas adalah dalam zona kontraksi dan hanya 29% yang ekspansi. Indonesia Alhamdulillah masih ada dan termasuk di kelompok yang ekspansi. Di sisi lain, adanya perang di Palestina dan itu adalah zona middle east, zona produksi dari minyak-minyak dan gas terbesar dunia, maka kita lihat gejolaknya mulai terefleksi. Sesudah harga minyak turun, sempat di 80 lagi, sekarang melonjak dan menembus angka 90. Ini level yang bukan hanya karena supply demand, tapi juga psikologi karena adanya perang,” terang Menkeu. 

 Dari sisi inflasi, terjadi kenaikan dari volatile food. Ada kenaikan yang cukup tinggi dari bulan Juli ke bulan September. Ini menjadi tantangan terutama bagi kelompok masyarakat yang rentan dan miskin. Tekanan kenaikan harga makanan tentu saja turut menekan daya beli mereka. Di sisi lain, Indonesia memiliki prestasi yang baik untuk neraca perdagangan. Selama 41 bulan berturut-turut neraca perdagangan Indonesia surplus. Ini patut dibanggakan apalagi di tengah situasi ekonomi Tiongkok yang melemah dan berdampak pada ekspor Indonesia. 

Dengan adanya situasi global yang menantang, dari beberapa leading indicators masih memperlihatkan ekonomi Indonesia yang terjaga baik. Indeks kepercayaan masyarakat masih baik yang terlihat dari sisi konsumsi. Begitu pula PMI Indonesia yang masih ekspansif. Konsumsi listrik untuk bisnis juga masih tumbuh 9,4 dan konsumsi semen tumbuh 4,9 yang menunjukkan sektor properti masih menggeliat. 

“Dengan terjaganya kegiatan ekonomi domestik, berbagai lembaga memperkirakan ekonomi Indonesia tahun 2023 ini masih bisa bertahan pada pertumbuhan di 5 persen. IMF menyampaikan 5 persen, Bank Dunia 5 persen, OECD masih lebih rendah sedikit 4,9%, tapi Bloomberg Consensus Indonesia diperkirakan tahun ini tumbuh tetap di 5 persen. Ini berarti kuartal terakhir diperkirakan masih akan bertahan,” ucap Menkeu. 

Target Penerimaan Negara Masih On Track 

Hingga akhir September 2023, penerimaan negara telah terkumpul sebesar Rp2.035,6 triliun atau 82,6 persen dari target penerimaan. Untuk penerimaan pajak telah terkumpul sebesar 80,78 persen dari target yakni Rp1.387,78 triliun. Penerimaan pajak Januari hingga September 2023 tumbuh positif terutama didukung kinerja ekonomi yang baik. Semua kelompok pajak tumbuh positif kecuali PPh Migas yang mengalami kontraksi akibat moderasi harga minyak bumi dan gas alam. Diperkirakan hingga akhir tahun, penerimaan pajak masih on track jika dikaitkan dengan target penerimaan pajak tahun 2024. 

“Kita lihat PPH nonmigas Rp771,7 triliun itu 88,34 persen dari target. Ini artinya tumbuh 6,69 persen dari tahun lalu. Aktivitas nonmigas ini bagus karena berarti banyak kegiatan yang sifatnya tidak tergantung kepada migas, meskipun mungkin dampak komoditas masih terlihat di sana. PPN dan PPnBM terkumpul Rp536,7 triliun atau 72,24 persen dari target, angka ini tumbuh 6,39 persen dari tahun sebelumnya. Untuk PBB Rp24,9 triliun atau tumbuh 22,5 persen. Sedangkan migas mengalami penurunan PPH yaitu Rp54,31 triliun yang sudah dikumpulkan ini artinya turun 12,6 persen dibandingkan tahun lalu,” jelas Menkeu. 

Pelemahan global memberikan dampak untuk penerimaan kepabeanan dan cukai, terutama untuk Bea Keluar dan Bea Masuk. Namun demikian, tarif Bea Masuk sebenarnya naik 1,4 persen dan impor komoditas dengan tarif di atas 10 persen menunjukkan ekonomi Indonesia masih baik. Bea Keluar memperlihatkan fluktuasi yang besar dikarenakan terjadinya peningkatan komoditas yang signifikan di tahun 2022. 

“Bea masuk kita terkumpul Rp36,9 triliun atau 77,6 persen. Ini hanya tumbuh tipis 1,7 persen. Pelambatannya ini karena impor yang mengalami perlambatan atau bahkan September turun 8,3 persen. Bea keluar Rp8,1 triliun atau 79,4 persen ini terlihat suatu fluktuasi yang sangat besar. Itu karena 2022 memang boom komoditas dan terutama peranan CPO yang sangat dominan. Tahun ini CPO produknya mengalami penurunan 82 persen. Tembaga yang memberikan dampak terhadap Bea Keluar juga turun 54 persen. Jadi dua komoditas ini memberikan penjelasan yang sangat besar kenapa penerimaan bea keluar kita turun sangat tajam,” jelas Menkeu. 

Penerimaan ketiga adalah penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang kontribusinya juga signifikan terhadap penerimaan negara. Hingga akhir September 2023, PNBP telah mencapai Rp451,5 triliun, angka ini melampaui target APBN yakni sebesar 102,3 persen. Hal ini disebabkan kontribusi sumber daya alam nonmigas melebihi target sebesar 164,4 persen atau mencapai Rp106,5 triliun. Di sisi lain, kontribusi sumber daya alam migas menurun karena penurunan lifting minyak sehingga baru mencapai 66,8 persen atau Rp87,6 triliun. Lalu, PNBP dari kekayaan negara dipisahkan sebesar Rp70,7 triliun, PNBP dari BLU adalah Rp65,7 triliun, dan PNBP lainnya Rp121,0 triliun. 

 

Belanja Pemerintah Memberikan Manfaat Langsung ke Masyarakat 

Dari hasil penerimaan tersebut kemudian dialokasikan untuk Belanja Negara. Belanja APBN mencapai Rp1.967,9 triliun atau 64,3 persen dari pagu APBN dengan Belanja Pemerintah Pusat yang sudah mencapai Rp1.396,9 triliun atau 62,2 persen dari pagu. Belanja Pemerintah Pusat terdiri dari Belanja K/L yang sudah terealisasi Rp669,6 triliun atau 66,9 persen dari pagu dan Belanja non-K/L sebesar Rp727,3 triliun atau 58,4 persen dari pagu. 

Untuk Belanja K/L dibelanjakan untuk dukungan persiapan pelaksanaan Pemilu, pembangunan IKN, percepatan penyelesaian infrastruktur prioritas, dan penyaluran berbagai bansos. Sementara itu, Belanja non-K/L disalurkan untuk realisasi subsidi dan kompensasi baik untuk BBM dan listrik, program Kartu Prakerja, serta subsidi pupuk. 

Dari Belanja Pemerintah Pusat, sebesar Rp803,5 triliun atau 57,5 persennya dibelanjakan untuk berbagai program yang memberikan manfaat langsung ke masyarakat. Program-program tersebut terbagi dalam tiga sektor. Sektor perlindungan sosial, petani dan UMKM, sektor pendidikan, dan sektor infrastruktur.  

“Program Keluarga Harapan itu ada 9,9 juta kelompok penerima atau keluarga. Kami membayar setiap 3 bulannya Rp7,34 triliun dan sekarang sudah Rp19,5 triliun terealisir. Kartu sembako, ini kita memberikan sembako kepada 18,5 juta kelompok penerima yaitu setiap bulannya kita mengeluarkan Rp3,7 triliun sehingga sampai dengan akhir September sudah Rp29,8 triliun terealisir,” jelas Menkeu. 

Tidak hanya itu, untuk masyarakat tidak mampu, pemerintah membayar iuran BPJS Kesehatan untuk 96,7 juta peserta. Lalu bantuan pangan dalam bentuk pemberian beras, telur, dan ayam juga diberikan saat bulan Maret sampai Mei lalu ketika harga pangan mengalami kenaikan menjelang Idul Fitri. Pada saat yang sama, pemerintah juga membantu waktu itu harga telur dan ayam jatuh sehingga para peternak mengalami dampak, maka kita membeli dan kemudian memberikannya kepada masyarakat sebesar Rp8,2 triliun.  

Tidak hanya masyarakat, para petani juga merasakan manfaat langsung dari alokasi belanja APBN. Bantuan sebesar Rp1,2 triliun diberikan untuk benih, mulsa, dan pupuk organik untuk 499,3 ribu Ha kawasan padi, jagung, kedelai, bawang, cabai, kopi, kelapa, dll. Selain itu, juga diberikan bantuan alat dan mesin pertanian sebesari Rp574,5 miliar yang diberikan dalam bentuk 13.621 traktor dan 2.500 cultivator. Pemerintah jug amemberikan bantuan dalam bentuk binatang ternak ke masyarakat. Ada 19.125 ekor ternak yang dibagikan dengan anggaran sebesar Rp182,5 miliar. 

“Dari sisi subsidi kompensasi listrik sudah dibelanjakan Rp77,9 triliun. Ini artinya Rp8,7 triliun per bulan. Jadi artinya 48,2 juta pelanggan yang sebetulnya bayar listriknya masih diberikan keringanan dengan subsidi dan kompensasi. Masyarakat kita menikmati elpiji 3 kg yang disubsidi oleh pemerintah. Nilai subsidinya sampai September adalah Rp46,5 triliun. Ini berarti tiap bulan kita mengeluarkan Rp5,2 triliun agar masyarakat bisa memasak dengan elpiji 3 kg dengan harga yang masih sangat terjangkau dan belum diubah, meskipun harga minyak dan gas mengalami perubahan. Untuk BBM, kita telah membelanjakan Rp95,4 triliun untuk subsidi dan kompensasi. Untuk perumahan kita mengeluarkan Rp616 miliar,” papar Menkeu. 

Untuk sektor pendidikan, APBN juga mengalokasikan anggaran terutama bagi siswa-siswi dari kelompok masyarakat tidak mampu. Program beasiswa hingga biaya operasional sekolah diberikan agar mereka bisa tetap melanjutkan pendidikan. Ada Program Indonesia Pintar untuk 12,3 juta siswa dengan anggaran sebesar Rp8,0 triliun. Program KIP Kuliah dengan nilai anggaran sebesar Rp10,8 triliun diberikan untuk 729,3 ribu mahasiswa. Di Kementerian Agama sebanyak 8,9 juta siswa mendapatkan manfaat untuk bantuan operasional untuk madrasah sebesar Rp10,2 triliun. Lalu ada Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) sebesar Rp4,6 triliun untuk 197 Perguruan Tinggi Nasional (PTN). 

“Kita juga membelanjakan infrastruktur yang langsung dinikmati masyarakat. Sebesar Rp108,6 triliun untuk pembangunan infrastruktur dan rehabilitasi yang manfaatnya dirasakan masyarakat, dari mulai jalan, sanitasi, air minum, jembatan, rel kereta, bandara, pelabuhan, irigasi. Sedangkan untuk daerah bencana terdapat belanja Rp1,8 triliun, terutama untuk membantu kembali perumahan. Membangun rumah di daerah gempa Cianjur sebanyak Rp1,22 triliun untuk 42.400 rumah tangga. Kartu Prakerja adalah program yang sudah kita kerjakan. Dinikmati satu juta pekerja atau peserta dengan nilai manfaat Rp3,7 triliun,” tutur Menkeu menjelaskan. 

Tidak hanya itu, APBN juga terus memainkan perannya sebagai shock absorber yang melindungi masyarakat dari guncangan yang berdampak pada ekonomi seperti pelemahan ekonomi Tiongkok dan musim kemarau panjang akibat El Nino. Saat ini beras menjadi komoditas yang perlu diwaspadai. Fenomena El Nino menjadi tantangan saat ini. Beras adalah komoditas utama masyarakat Indonesia sehingga jika terjadi kenaikan harga beras ini akan berdampak pada daya beli masyarakat. Maka, respons pemerintah adalah dengan menjaga pasokan beras di Indonesia melalui impor. Selain itu, bantuan beras juga diberikan untuk keluarga rentan dan miskin untuk menjaga daya beli. 

“Ada 21,3 juta kelompok penerima manfaat ini adalah keluarga keluarga PKH dan keluarga-keluarga yang selama ini mendapatkan bantuan sembako dari APBN kita secara langsung. Ada 21,3 juta keluarga. Nah APBN memberikan bantuan setiap kelompok penerima ini diberikan 10kg setiap bulannya dari mulai bulan September sampai Desember. Jadi September, Oktober, November, Desember, empat bulan karena el nino memang mengalami dampak yang cukup panjang,” ujar Menkeu. 

Pemerintah juga terus berupaya untuk memperkuat kegiatan ekonomi dengan lebih memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kredit Usaha Rakyat (KUR) terus didorong agar bisa mencapai target sebesar 297 triliun. Realisasi KUR hingga September 2023 sudah mencapai Rp177,5 triliun.  

“Maka kami minta terutama pada bank-bank penyalur KUR terbesar barangkali adalah BRI dalam hal ini untuk melakukan extra effort menyalurkan kredit usaha rakyat yang disubsidi bunganya. Mereka bahkan sudah melakukan dengan weekend banking, jadi diharapkan selama weekend karena ini tinggal dua bulan lagi. Kita berharap angka 297 berarti hampir sekitar 120 triliun kredit bisa digelontorkan untuk KUR pada periode Oktober hingga Desember ini yang itu diharapkan akan bisa membantu banyak UMKM yang selama ini juga telah dan menjadi pelanggan dari kredit usaha rakyat,” kata Menkeu. 

Respons kebijakan lain yang diambil adalah dengan mengakselerasi sektor properti atau perumahan yang memiliki linkage multiplayer yang sangat besar dalam rangka menjaga ketahanan terutama dalam penciptaan kesempatan kerja. Selain itu, dorongan di sektor ini juga akan membantu masyarakat berpendapatan rendah untuk bisa mendapatkan rumah.  

“Untuk periode November 2023 sampai Juni tahun 2024, PPN yang ditanggung pemerintah adalah 100 persen. Artinya tidak dipungut PPN untuk pembelian rumah baru di bawah Rp2 miliar. Sedangkan untuk Juli hingga Desember 2024, PPN yang ditanggung pemerintah adalah 50 persennya. Kita berharap pada semester kedua, kondisi dunia sudah relatif lebih tenang dan ekonomi kita sudah tetap terjaga resilien dan pemulihan sudah berjalan sehingga kita melakukan tapering. Untuk masyarakat berpendapatan rendah, kita masih menambahkan lagi bantuan biaya administrasi untuk jangka waktu 14 bulan ke depan sebesar Rp4 juta per pembelian rumah. Kita juga memutuskan untuk menaikkan threshold harga rumah yang bisa dibeli oleh MBR, yaitu rumah yang disebut bersubsidi menjadi Rp350 juta, baik rumahnya tapak maupun rumah susun. Jadi dalam hal ini untuk semua rumah yang harganya di bawah Rp350 juta mendapatkan fasilitas biaya administrasi dan juga PPN yang ditanggung pemerintah,” pungkas Menkeu.