Gebrakan Sang Begawan

11 Oktober 2023
OLEH: Mohamad Ikhwan Maulana
Menteri Keuangan J.B. Sumarlin, dalam rapat kerja dengan komisi RAPBN DPR di Gedung MPR DPR RI, 1990. Foto oleh TEMPO, Ronald Agusta.
Menteri Keuangan J.B. Sumarlin, dalam rapat kerja dengan komisi RAPBN DPR di Gedung MPR DPR RI, 1990. Foto oleh TEMPO, Ronald Agusta.  

Melalui kebijakan dan gebrakannya, masalah perekonomian dan keuangan negara, fiskal dan moneter, menemukan jalan keluar.

Siapa tak kenal Gebrakan Sumarlin? Gebrakan yang dilancarkan tangan dingin Menteri Keuangan (Menkeu) Kabinet Pembangunan V, periode 1988-1993 ini berhasil mengatasi masalah ekonomi Indonesia saat itu. JB Sumarlin dinilai amat paham kapan Pemerintah harus tegas mengetatkan pengeluaran, menggenjot pajak, atau sebaliknya, memberi stimulus pada fiskal. Berbagai ramuan paket kebijakan ekonomi yang dibuatnya, berhasil menghalau krisis ekonomi, keuangan, fiskal dan moneter pada era Orde Baru. "Image Pak Sumarlin tak dapat dilepaskan dari liberalisasi sektor keuangan, Gebrakan Pakto atau Gerakan Sumarlin," ungkap Menkeu Sri Mulyani Indrawati yang diwawancara pada 2 Agustus 2023 di Gedung Kemenkeu.

Menurut Menkeu Terbaik Asia Timur dan Pasifik 2020 ini, kinerja Sumarlin termasuk salah satu bentuk keberhasilan dari teknokrat pada masa itu. "Indonesia dihadapkan pada kondisi harga minyak, yang waktu itu dominasi dari penerimaan negara, mengalami naik-turun. Sehingga harus dilakukan kebijakan-kebijakan yang sangat drastis berubah," ujar sosok yang akrab dipanggil Bu Ani ini.

Pada 1986, misalnya, instabilitas harga minyak membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) goyang. Penerimaan turun drastis. Sementara periode 1980-an itu adalah masa-masa di mana Orde Baru menggenjot pembangunan secara sangat luar biasa. "Kalau dari ilmu ekonomi, berarti Anda menggunakan penerimaan dari komoditas ekspor untuk memperbaiki competitiveness. Untuk menghindarkan apa yang disebut dutch disease," urai Kepala Bappenas periode 2004-2005 ini.

Di satu sisi, Pemerintah berjibaku mempertahankan pertumbuhan ekonomi, menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan investasi, memperbaiki kesejahteraan masyarakat, yang saat itu tingkat kemiskinannya masih tinggi. Namun di sisi lain, dananya morat-marit akibat harga minyak anjlok. "Maka pilihan yang bisa dilakukan para teknokrat, termasuk Pak Sumarlin adalah liberalisasi, dibuka. Karena ekonominya saat itu sebetulnya tertutup. Tertutup akibat regulasi yang ditutup regulasi," jelas perempuan paling berpengaruh di Indonesia versi Majalah Globe Asia Oktober 2007 ini.

Ketika harga minyak jatuh, APBN-nya lumpuh. Maka APBN-nya tidak digunakan karena bisa menyebabkan kolaps.  "Pak Sumarlin kemudian membuat langkah untuk menyelamatkan APBN dan menyelamatkan ekonomi kita," jelas Menkeu.

J.B. Sumarlin memperoleh penyematan Bintang Mahaputra Adiprana II tahun 1973.

Gebrakan Sumarlin 

Salah satu yang paling melekat pada sosok Sumarlin adalah keberhasilannya melawan imbas krisis global dan overheating ekonomi nasional pasca-devaluasi rupiah pada 1986. Ketika menjadi Menkeu Ad Interim pada 1987. Pada tahun itu, aksi spekulasi valuta asing menjadi-jadi. Capital flight juga mengerikan. Laju kliring di Bank Indonesia (BI) mencapai 400 juta dolar AS per hari. Hingga devisa negara nyaris tekor, hanya menyisakan 5 miliar dolar AS pada medio 1987.

Setelah mendapat persetujuan Presiden Soeharto, Sumarlin mengeluarkan surat perintah pada Juni 1987. Deposito milik empat BUMN besar --Pertamina, Pusri, PLN dan Taspen, harus dipindahkan ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang. Berkat surat ajaib Sumarlin itu, peredaran uang di masyarakat menjadi ketat. Gerak spekulan dan capital flight berhasil dibatasi. Singkatnya, BI pun sukses menarik kembali devisa sekitar 1 miliar dolar AS dalam waktu dua bulan. Aksi tersebut kemudian dijuluki media massa sebagai Gebrakan Sumarlin I.

Menurut Menkeu Sri Mulyani, gebrakan tersebut adalah yang paling besar. Bahkan menimbulkan dampak hingga 10 tahun kemudian pada sektor keuangan. Terutama pada liberalisasi sektor keuangan, perbankan, dan capital market. "Apa yang dilakukan Pak Sumarlin itu konsekuensinya satu dekade kemudian dan ini menjadi salah satu text book case untuk Indonesia. Bagaimana sequence dari kebijakan liberalisasi," ujar Menkeu yang didaulat sebagai wanita paling berpengaruh di dunia versi Majalah Forbes 2008.

Meski ada yang mencibir, namun cara tersebut mendapat banyak pujian dari para pengamat perbankan dan keuangan. Termasuk Kwik Kian Gie, yang kemudian menjadi Menteri Koordinator Bidang Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) periode 1999-2000, dan Ketua Bappenas periode 2001-2004. 

Pujian serupa juga kemudian disampaikan oleh Wakil Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto. Menurut Eko, Sumarlin berjasa dalam meletakkan tonggak kebijakan moneter di Indonesia. Terobosan Sumarlin mampu mengatasi kesulitan ekonomi yang dihadapi Indonesia pada era akhir 1980-an.

Kenyataannya, gebrakan inkonvensional yang dijalankan oleh Sumarlin itu ternyata juga mampu mengatrol pertumbuhan ekonomi Indonesia ke level 5,7 persen. Melebihi rata-rata pertumbuhan Indonesia di 5 persen pada 1988. Dari Gebrakan Sumarlin I ini, para pengambil kebijakan dapat melihat, spekulasi valuta asing hanya bisa terjadi bila likuiditas di masyarakat jumlahnya berlebihan. Sebab itu, perlu dikendalikan.

Pada awal 1991, Sumarlin menggebrak lagi. Kali ini gebrakannya bertujuan mengendalikan inflasi yang melambung tinggi. Caranya relatif sama dengan Gebrakan Sumarlin I. Menyedot dana milik 12 BUMN dari perbankan, kemudian mengalihkannya ke SBI. Namun, kali ini lebih ditujukan untuk mengantisipasi krisis dunia akibat eskalasi perang Irak. Gebrakan 1991 itu kemudian disebut sebagai Gebrakan Sumarlin II. Berkat gebrakan ini, inflasi yang sempat melambung di level 8,27 persen berhasil ditekan menjadi hanya 4,9 persen. Sekali lagi, perekonomian Indonesia pun terselamatkan oleh gebrakan Sumarlin. 

Menyusul keberhasilan Gebrakan Sumarlin I, sang begawan semakin yakin, deregulasi bidang perbankan perlu dilakukan. Karena itu, tak lama setelah diangkat menjadi Menkeu, Sumarlin meluncurkan paket-paket kebijakan ekonomi, keuangan, fiskal dan moneter. 

Paket Kebijakan dan Tonggak Ekonomi

Menyusul keberhasilan Gebrakan Sumarlin I, sang begawan semakin yakin, deregulasi bidang perbankan perlu dilakukan. Karena itu, tak lama setelah diangkat menjadi Menkeu, Sumarlin meluncurkan paket-paket kebijakan ekonomi, keuangan, fiskal dan moneter. Paket kebijakan yang fenomenal adalah Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 atau Pakto 1988 (Pako 1988). Digarap bersama Gubernur Bank Indonesia. Tujuannya pengerahan dana masyarakat, ekspor nonmigas, serta efisiensi lembaga keuangan dan perbankan. Pakto 1988 ini juga berhasil mengendalikan pelaksanaan kebijakan moneter dan iklim pasar modal.

Pakto 1988 ini mempermudah pendirian bank swasta dan bank devisa. Baik perizinannya maupun kewajiban likuiditas minimumnya yang 2 persen, serta legal lending limit 20 persen dari modal setiap bank. Dengan Pakto 1988 ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat beberapa usaha perbankan yang berasaskan syariah juga muncul, seperti dikutip laman ojk.go.id.

Selain itu, Pakto 1988 mengizinkan BUMN dan BUMD menempatkan dana di bank swasta. Alhasil, selain jumlah bank swasta umum naik, capital inflow pun berkembang pesat pasca-Pakto 1988. Dalam waktu dua bulan, dana yang terserap lewat tabungan mencapai Rp2 triliun. "Itu adalah salah satu tonggak di dalam perekonomian Indonesia modern, yaitu bagaimana Indonesia mulai membuka sektor keuangan, dan bahkan, dalam hal ini sektor riilnya juga, untuk liberalisasi," ujar Menkeu Sri Mulyani.

Selanjutnya, Sumarlin melahirkan kebijakan-kebijakan pendukung Pakto 1988. Ada yang mengatur tata kelola keuangan dan perbankan nasional, menyederhanakan dan mempertegas kebijakan sebelumnya, hingga mendorong dan meningkatkan kinerja keuangan dan perbankan nasional. Tak hanya itu, dua paket kebijakan tambahan juga diumumkan pada 1988. Yakni Paket Kebijakan 20 Desember 1988 (Pakdes 1988). Paket ini bertujuan menyerap dana dengan melibatkan swasta di pasar modal atau bursa efek, mempermudah pendirian asuransi dan modal ventura, serta usaha kartu kredit.

Menurut catatan berbagai media, Pakdes 1988 berhasil menggairahkan lantai bursa. Bahkan menyedot transaksi saham emisi baru di Bursa Efek Jakarta (BEJ) hingga lebih dari Rp1,3 triliun dalam jangka enam bulan. Dari Rp700 miliar pada Desember 1998 menjadi Rp2 triliun (Juni 1989). "Dalam periode yang sama, jumlah emiten di BEJ juga menjadi 55 perusahaan. Artinya, ada tambahan 31 perusahaan. Di Surabaya berdiri pula Bursa Efek Surabaya," kutip berbagai media. 

Di samping itu, lima kebijakan pendukung berhasil diterbitkan pada Februari 1989. Termasuk peraturan merger antarbank, ketentuan bank perkreditan rakyat, permodalan, pengertian kredit ekspor, serta kredit valuta asing. Semuanya saling melengkapi. Ada juga Paket 1 Desember 1989, terkait pajak bunga tabungan dan deposito. Pun paket 29 Januari 1990 untuk mendorong peran intermediasi perbankan dan mengurangi peran kredit likuiditas BI. Lalu Paket 28 Februari 1991 untuk meningkatkan pengawasan dan prinsip kehati-hatian perbankan.

Di akhir masa jabatannya selaku Menkeu, Sumarlin membidani Paket 29 Mei 1993 guna mendorong penyaluran kredit dengan melonggarkan ketentuan batas modal minimum perbankan.

J.B. Sumarlin berjabatan tangan dengan Ratu Elizabeth pada kunjungan kenegaraannya ke Indonesia tahun 1974.

Pil Pahit dan Jurus Jitu Sumarlin

Tugasnya tak semulus yang diperkirakan banyak orang. Ketika menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Ketua Bappenas periode 1983-1988, misalnya, JB Sumarlin mengawalinya dengan "menelan pil pahit".

Kala itu daya saing Indonesia merosot tajam, nilai tukar rupiah over-valued, neraca pembayaran anjlok. Pemerintah sempat melakukan devaluasi Rupiah pada 30 Maret 1983. Dari Rp702,5 menjadi Rp970 per dolar AS. Para punggawa ekonomi-keuangan kala itu meramu resep Paket Kebijakan 1 Juni 1983 (Pakjun 1983). Dengan ini, bank-bank pemerintah leluasa menetapkan suku bunga deposito dan pagu kredit.

Lalu pada awal 1984, pemerintah menerbitkan SBI untuk operasi pasar. Disusul dengan mengenalkan Surat Berharga Pasar Uang untuk menyalurkan kredit dan pinjaman antarbank. Hasilnya, simpanan masyarakat meningkat, tren moneter menjadi lebih stabil sehingga mendukung perencanaan pembangunan saat itu.

Tren stabil itu relatif terkendali hingga Agustus 1986, tahun dimana JB Sumarlin ditunjuk Presiden Soeharto menjadi Menkeu Ad Interim. Kala itu, harga minyak mentah dunia anjlok menjadi 10 dolar AS per barel. Akibatnya, nilai ekspor minyak yang sudah turun 66,8 persen, turun lagi menjadi 50,9 persen. Ekonomi Indonesia kembali goyah, karena APBN yang tergantung dari minyak ini terganggu. Neraca pembayaran pun semakin defisit. Akumulasinya, nilai tukar rupiah melorot tajam. Hingga pada medio September 1986 rush mulai terjadi. Masyarakat menguras tabungannya, menukarkan rupiah ke mata uang asing dan "mengungsikannya" ke bank-bank di luar negeri (capital flight).

Atas persetujuan Presiden, Sumarlin memulai langkah perbaikan ekonomi yang berani. Paket Kebijakan Ekonomi 25 Oktober 1986 (Pakto 1986) pun digulirkan. Isinya mencabut sekaligus enam surat keputusan (SK) yang ada. Salah satunya tentang penghapusan pagu swap ulang ke Bank Indonesia atas pinjaman luar negeri. Ini cikal bakal liberalisasi ekonomi. Penghapusan ini diharap meningkatkan pinjaman luar negeri, agar roda ekonomi Indonesia terus berputar.

Namun, rumor "Pemerintah Bangkrut" di masyarakat kelewat besar. Kabar naiknya harga minyak dunia yang fantastis pada 1987 malah membuat rush dan capital flight "menggila". Kala itu, harga minyak naik dari 14 dolar AS ke 37 dolar AS per barel. Ketika Menkeu Radius Prawiro menghadiri konferensi para Menkeu antarnegara OPEC, Juni 1987, Presiden Soeharto kembali menunjuk Sumarlin menjadi Menkeu Ad Interim. Di sinilah pil pahit itu dilawan Sumarlin dengan gebrakannya. "Pak Sumarlin come up dengan sebuah respon yang, ya, kalau disebut bold, tegas, atau yakin untuk membuat suatu path atau suatu jalan porsi yang berbeda," ungkap Menkeu Sri Mulyani.

Menkeu Terbaik Asia 2006 menurut Emerging Markets Forum 1996 itu pun menilai Sumarlin sebagai salah satu figur yang menghadapi masalah secara teknokrasi. "So, Pak Sumarlin menunjukkan, Menteri Ekonomi atau Keuangan kadang-kadang diuji dengan situasi beyond your control, tapi you have to prepare meresponsnya dan bekerja dalam menyiapkan atau memitigasi dari kebijakan yang sulit itu," papar Menkeu yang hobi bernyanyi ini. 

Untuk pertama kalinya, lewat Sumarlin pemerintah berani mengambangkan (to float) nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Operasi pasar terbuka pun dilakukan. Alhasil, kondisi ekonomi relatif terkendali. Namun Sumarlin tak lantas tenang. Terlebih ketika didapuk menjadi Menkeu periode 1988-1993. Masalah demi masalah seolah mengejar Sumarlin. Termasuk krisis global akibat perang Irak-Kuwait mengintai stabilitas ekonomi nasional.

Perang yang dimulai Juli 1990 itu mengalami eskalasi. Akibatnya, harga minyak dunia kembali bergejolak. Inflasi di tanah air naik menjadi 8,27 persen. Menangkal itu, kebijakan pengetatan uang atau Tight Money Policy pun diambil Sumarlin. Namun kebijakan itu memaksa bank-bank menaikkan suku bunga. Akibatnya kredit macet membengkak, banyak sektor yang redup. Bahkan real estate jatuh ke jurang terdalam kala itu.

Pada akhir kuartal kedua 1990, kredibilitas perbankan juga tercoreng. Bank Duta tersandung kasus korupsi, sementara Bank Umum Majapahit Jaya (BUMJ) bangkrut akibat salah urus. Ada juga Bank Summa dan Bank Sampoerna Internasional yang terjerat utang besar. Kondisi serupa krisis 1987 pun kembali mengancam.  Sumarlin sendiri sempat "dituding" banyak pihak sebagai penyebabnya. Terlebih setelah dipanggil DPR untuk dimintai keterangan perihal kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya.

Sebelum terlambat, Sumarlin kembali menggebrak. Bersama Gubernur Bank Indonesia kala itu, Adrianus Mooy, Sumarlin mengonversi dana milik 12 BUMN di bank-bank menjadi SBI. Tindakan itu persis Gebrakan Sumarlin I. Bedanya, ungkap Adrianus seperti dikutip Bondan, gebrakan pertama bersifat kuratif karena sudah terjadi rush, penjualan devisa dan diikuti capital flight. Sedangkan gebrakan kedua lebih bersifat antisipatif agar tidak timbul gejala yang sama seperti 1987. 


Mohamad Ikhwan Maulana