LPEI dan PT SMI Dorong Tenun Sikka NTT Mendunia

16 Januari 2024
OLEH: Dimach Putra
LPEI dan PT SMI Dorong Tenun Sikka NTT Mendunia. Foto oleh Dodi A.
LPEI dan PT SMI Dorong Tenun Sikka NTT Mendunia. Foto oleh Dodi A.  

”Dakk.. dokk.. dakk.. dokk,” bunyi bilah kayu beradu terdengar bertalu di penjuru Kampung Woja. Suara tersebut menjadi irama yang familiar terdengar, melatari kegiatan sehari-hari para warga. Sumber bunyi itu berasal dari alat tenun yang sedang digerakkan berulang oleh para mama, sebutan akrab perempuan dewasa di daerah Indonesia Timur. Mereka sedang membuat tenun ikat khas Sikka.

Seperti halnya kekayaan budaya lainnya, tenun ikat Sikka layak untuk dilestarikan dan dikembangkan. Foto: Dodi A.

Menenun Tradisi Lintas Generasi

Bagi masyarakat di sebuah desa di Sikka, sebuah kabupaten di Pulau Flores - Provinsi Nusa Tenggara Timur, tenun adalah warisan nenek moyang yang bernilai luhur. Helai demi helai benang yang dijalin dan diikat menjadi lembaran kain itu ibarat kisah suri tauladan leluhur yang terus dijaga dan terbentang indah hingga kini dan sampai nanti. ”Ini yang dibilang motif ’berkat ibu’, ini seperti dia punya mama dan yang ini anak-anaknya, motif yang kecil-kecil itu,” ungkap Mama Oca, salah satu pengrajin tenun ikat, menjelaskan filosofi motif menyerupai bunga pada kain monokrom hitam putih yang dibawanya.

Selama ini para mama-mama di Sikka menenun dengan bahan seadanya. Kain tenun yang mereka buat tersebut lalu dijual di pasar lokal. Hasil yang didapat mereka pun tidak seberapa. Bagi mama-mama ini, yang terpenting pendapatannya itu cukup untuk menyambung hidup sekaligus melestarikan kebudayaan yang mereka cintai. Seperti halnya kekayaan budaya lainnya, tenun ikat Sikka layak untuk dilestarikan dan dikembangkan. Lalu, adakah cara untuk membantu mengembangkan kain tenun yang unik dan indah ini?

alah satu special mission vehicle di bawah Kementerian Keuangan itu menggandeng Yayasan Insan Bumi Mandiri meluncurkan Sentra Tenunin Maumere pada bulan Oktober silam. Foto: Dodi A.

Dorongan Menuju Kemajuan

Bak gayung bersambut, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) hadir menjadi pembawa solusi. Salah satu special mission vehicle di bawah Kementerian Keuangan itu menggandeng Yayasan Insan Bumi Mandiri meluncurkan Sentra Tenunin Maumere pada bulan Oktober silam. Pembukaan sentra tenun ini merupakan bentuk pemberdayaan dan pendampingan Kelompok Tenun Roa Rero di Kampung Woja, Kelurahan Hewuli, Kabupaten Sikka, NTT.

Program ini merupakan bentuk tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) yang konsisten dijalankan PT SMI sejak awal berdiri. Perseroan yang memiliki mandat sebagai katalis percepatan pembangunan nasional ini berkomitmen menjangkau semua sektor dalam pelaksanaan programnya, termasuk seni budaya. Sentra Tenunin Maumere merupakan. Setelah memulai sentra pertama di Alor pada tahun 2018, lalu dilanjutkan dengan Sumba, Ende, hingga ke Belu, sentra di Sikka ini menjadi sentra kelima yang terbangun atas kerjasama ini.

”Ini menunjukkan komitmen dan perhatian kami ke seni budaya yang sangat kaya raya di Indonesia, dan utamanya juga untuk membangun UMKM yang merupakan salah satu amanah utama dari pemegang saham PT SMI, dari Kemenkeu,” jelas Ramona Harimurti, Head of Corporate Secretary PT SMI. Bentuk pemberdayaan dan pendampingan hulu ke hilir yang diberikan kepada Kelompok Tenun Roa Rero berbentuk pelatihan, pembinaan, bantuan fisik berupa alat tenun, hingga pemasaran ke platform digital.

Pemberdayaan dan pendampingan yang diberikan melalui program TJSL PT SMI itu baru sebuah langkah awal untuk sebuah langkah besar yang akan ditapaki para penenun Roa Rero berikutnya. Foto: Dodi A.

Agar Tenun Sikka Mendunia

Pemberdayaan dan pendampingan yang diberikan melalui program TJSL PT SMI itu baru sebuah langkah awal untuk sebuah langkah besar yang akan ditapaki para penenun Roa Rero berikutnya. Bersamaan dengan pembukaan Sentra Tenunin Maumere, diluncurkan pula Desa Devisa Klaster Tenun NTT. Program ini merupakan kolaborasi dengan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)  yang akan dilakukan di 22 desa di NTT dan dimulai di Sikka. LPEI atau Indonesia Eximbank juga merupakan SMV di bawah Kemenkeu. Desa Devisa merupakan program unggulan yang dijalankan LPEI selain menyediakan suntikan pembiayaan ke pelaku usaha, salah satunya lewat skema penugasan khusus ekspor (PKE) bagi para pelaku UMKM yang dananya bersumber dari #UangKita.

”Kita berusaha meningkatkan kelas dari komunitas tenun di NTT. Nah, caranya bagaimana?” pancing Maharestu Setyorini, Kepala Departemen Jasa Konsultasi LPEI. Restu melanjutkan bahwa langkah awalnya dimulai dengan pendampingan manajemen. LPEI menerapkan semangat Kemenkeu Satu dengan menggandeng Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terkait dokumen ekspor, Direktorat Jenderal Pajak terkait perpajakan dan tentunya dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan di Sikka. Saat manajemennya beres, langkah berikutnya adalah pemberian pelatihan dan peningkatan kapasitas produksi. Pada tahap ini, Restu mengapresiasi adanya kolaborasi bersama PT SMI lewat Tenunin. Jika manajemen dan produksinya sudah aman, langkah berikutnya yang dibantu LPEI adalah akses ke pasar. ”Dimulai dengan membuka pasar. Kita juga menargetkan tahun depan sudah mulai bisa indirect export dan di tahun berikutnya sudah ekspor langsung,” beber Restu.

Ia akui, langkah demi langkah sebuah produk lokal untuk menembus pasar global memang tak semudah membalik telapak tangan. Tapi, ia menjamin bahwa LPEI akan terus memberikan pendampingan dalam tiap tahapan tersebut. Menurut pengalamannya mengelola desa devisa klaster dan di daerah lain, butuh waktu 3-5 tahun untuk sebuah produk dapat diekspor ke luar negeri. LPEI juga meyakinkan komunitasnya bahwa seluruh program ini tidak dipungut biaya karena bentuk pelaksanaan mandat dalam meningkatkan ekspor nasional. ”Harapannya adalah para penenun setidaknya bisa naik 30% pendapatannya.

Jalan bagi tenun Sikka nan eksotis dan sarat filosofis untuk menembus pasar global baru dimulai dan masih panjang terbentang. Namun, semangat para mama ini tak akan pernah padam. Foto: Dodi A.

Asa Para Mama

Kehadiran pendampingan dan pelatihan yang disediakan oleh SMV Kemenkeu ini ibarat buah manis yang mereka petik dari buah kegigihan para penduduk di sini. “Kami sangat bersyukur dengan yayasan yang mau memperhatikan kami ini. Apalagi sebagian besar kami ini adalah pengungsi,” ungkap Mama Ave, Pembina Kelompok Penenun Desa Hewuli. Warga desa ini mayoritas adalah pengungsi letusan Gunung Rokatenda di Pulau Palue yang meletus beberapa tahun lalu. Mereka akhirnya harus hidup di padang gersang yang dijadikan rumah baru bagi mereka.

Tanah yang tandus tidak memungkinkan bagi mereka untuk menggarapnya menjadi ladang. Para bapa memutuskan menjadi nelayan yang sepenuhnya bergantung pada cuaca dan hasil tangkapan yang tidak menentu. Sementara itu, para mama menenun untuk menambah sedikit pemasukan. Sebelumnya mereka menenun sendiri di rumah masing-masing. Sejak dibentuk kelompok, mereka menjadi semakin aktif berbagi informasi dan pengetahuan. Produksi pun lebih meningkat. Mereka pun bisa menjual karya tenunnya dengan harga yang lebih pantas. Bahkan, sejak adanya pendampingan dan pelatihan, beberapa calon anggota menyatakan ketertarikannya untuk menjadi bagian komunitas yang beranggotakan 20-an orang itu.

Jalan bagi tenun Sikka nan eksotis dan sarat filosofis untuk menembus pasar global baru dimulai dan masih panjang terbentang. Namun, semangat para mama ini tak akan pernah padam. Mama Ave sebagai sosok yang dituakan di kelompok membagi asanya bagi rekan-rekannya sesama mama-mama penenun. “Lebih ulet lagi untuk lebih berusaha mencari informasi untuk mengembangkan kelompok ini. Dan kami sangat bersyukur untuk semua yang telah membantu, semoga terus berlanjut, tidak hanya untuk tenunnya tapi juga potensi lainnya,” tutup Mama Ave.


Dimach Putra