Maria Jochu, Putri Papua Master SDM Penerima Beasiswa LPDP

16 Desember 2022
OLEH: Irfan Bayu
Maria Jochu, Putri Papua Master SDM Penerima Beasiswa LPDP
 

Pemerataan pendidikan menjadi salah satu pekerjaan rumah bagi pemerintah, termasuk pemerataan pendidikan di Papua. Maria Jochu, putri Papua, lahir menjadi permata yang muncul dengan gelar masternya. Bukan sekadar gelar, dia berhasil mendapatkannya dari Marshall University di Amerika melalui beasiswa LPDP. Prestasi ini sekaligus membuktikan bahwa putra putri Papua juga bisa mendapat pendidikan dan berkontribusi bagi negeri.

 

IPDN (Institut Pendidikan Dalam Negeri), sekolah para pamong praja, seperti jawaban yang dicari Maria. (Foto: Dok. Pribadi)

Mencari Jalan Menempuh Pendidikan

Kota Jayapura merupakan ibukota provinsi Papua yang terletak di ujung timur Indonesia dan berbatasan langsung dengan Papua Nugini. Jika dilihat lebih dekat lagi, ada salah satu kelurahan bernama Gurabesi. Sepintas tidak ada yang spesial dibandingkan dengan desa-desa lainnya. Namun dibalik 20 ribuan warga disana, ada nama Maria Aprilia Jochu. Lahir dari keluarga sederhana membuat Maria dididik untuk menjadi sederhana, pun dengan pendidikannya.

Bapak saya kan cuma pegawai negeri, mama ibu rumah tangga, secara ekonomi tidak bisa membiayai saya,” jelas anak bungsu dari 8 bersaudara ini. Walaupun keadaan menghalangi, Maria tetap mencari cara bagaimana untuk tetap mendapat pendidikan yang layak namun juga tidak memberatkan ekonomi orang tuanya.

IPDN (Institut Pendidikan Dalam Negeri), sekolah para pamong praja, seperti jawaban yang dicari Maria. “Kalau IPDN kan gratis, dibiayai negara, jadi mereka nggak pusing (biaya),” kata Maria. Setelah lulus dan bekerja di pemerintahan, Maria malah semakin penasaran. Ketika pengabdiannya baru seumur jagung, Maria malah nekat mengambil kredit pegawai untuk bisa berkuliah lagi untuk gelar master. “Jadi, baru jadi pegawai sudah nakal (ambil) kredit pegawai untuk lanjut S2. Terus keluarga ‘kan bilang, kenapa kamu mau S2? Kita aja keluarga tidak mampu, jangan gaya-gaya deh,” terang Maria menirukan logat orang tuanya.

 Maria mengakui bahwa keluarganya memiliki pemikiran yang medioker dan terkesan tidak ingin maju. Bahkan baginya terlalu sederhana dalam menjalani kehidupan, apalagi untuk pendidikannya. Terbukti dari kakak-kakak Maria yang bersekolah di dekat rumah saja, kerja pun apa adanya saja. Bagi keluarganya dengan sekolah, bisa bekerja, dapat gaji, dan hidup itu sudah cukup. Namun bukan Maria jika tidak nekat. “Kan teman-teman di lingkungan (di IPDN) mau sekolah, saya sendiri kok tidak? Apakah saya harus tinggal di hutan? Kan di kota, jadi nekat pergi ambil kredit pegawai terus kuliah,” tambahnya lagi.

Namun setelah satu semester berjalan, Maria merasa kurang cocok. Pada akhirnya Maria memutuskan keluar. “Saya mau tuh sekolah tuh yang kayak di IPDN, sekolah yang betul-betul profesor, yang siap grak. Tiba-tiba ke sini kok santai-santai, kayak duduk, ada tugas, (bisa) tidak buat. ‘Kan kita bisa bekerja sama dengan si dosen, dengan staf administrasi di kampus. ‘Nggak kuliah juga kayaknya bisa dapat ijazah, jadi tidak nyambung,” keluh Maria.

 

Akhirnya pada 2018 lalu, Maria berhasil menyelesaikan studinya dan mendapat gelar Master program Human Resources Management and Services. (Foto: Dok. Pribadi)

Lika-Liku Perjuangan Menuju Impian

Kehidupan yang biasa saja membuat Maria bosan. Otaknya seperti butuh asupan. Di tengah timeline facebook Maria yang biasanya sepi, tiba-tiba BPSDM (Badan Pengelola Sumber Daya Manusia) kota Papua membagikan tautan tentang pengumuman kursus bahasa Inggris yang bisa diikuti pegawai. Informasi yang sangat berharga namun sayangnya tidak dibagikan secara luas apalagi disosialisasikan kata Maria. Tidak banyak berpikir, Maria yang mengetahui hal tersebut langsung mendaftarkan diri.

Jadi kursusnya itu saya tidak tahu TOEFL itu apa, IELTS itu apa. Jadi pada saat 2015 di bulan Februari, pergi, sudah ikut saja. Kemudian dikasih tahu TOEFL. TOEFL itu paling bodoh sekali saya. Jadi nomor 45, murid terakhir dalam kelas itu saya (yang lulus) karena placement test itu pakai TOEFL. Tapi Puji Tuhan saya nomor terakhir, yang paling terakhir lolos,” kenangnya. Karena hal itu pula, Maria juga mendapat kesempatan mengikuti salah satu program lainnya dari BPSDM untuk belajar bahasa Inggris di Australia. Ia menjadi salah satu dari 10 orang yang terpilih.

 Pada 2015, BPSDM  Papua mengadakan pameran beasiswa di mana salah satunya adalah LPDP. Minimnya informasi membuat Maria tak tahu apa itu LPDP. Salah satu persyaratan dari LPDP untuk bisa mendapatkan beasiswa saat itu adalah nilai IELTS. “Saya sambil kursus 3 bulan itu betul-betul belajar, saya usaha harus bisa dapat (nilai) 5. Saya berjuang, ke kantor juga (membawa) buku bahasa Inggris. Jadi saya kerja, bahasa Inggris, kerja (lagi). Sampai kemudian kita tes bahasa Inggris, terus lolos,” terangnya.

Usaha memang tidak berkhianat. Setelah berbagai tes dari LPDP dilalui, Maria sampai di tahap terakhir yaitu wawancara. Ketika ditanya apakah akan melanjutkan di universitas dalam negeri atau di luar negeri, Maria dengan tegas ingin ke luar negeri. Singkat cerita, Maria berhasil lolos. Program Human Resources di Marshall University menjadi tempat Maria menggali ilmu lebih tinggi.

Maria sedikit mengalami kesulitan pada awal perkuliahan karena cara pembelajaran yang berbeda dengan di Indonesia. Saat menjalani perkuliahan Maria juga sempat berpindah tempat tinggal karena ingin memiliki teman yang bisa membuatnya semakin lancar dalam berbahasa Inggris. “Jadi akhirnya semester berikutnya, saya keluar dari apartemen itu. Saya (pindah) gabung sama yang betul-betul bule. Jadi satu apartemen empat kamar, itu semua bule di dalam. Komunikasinya sama bule, teman main di kelas juga harus bule. Kalau tidak, saya nggak pintar pintar, ‘nggak paham paham. Kalau sama bule ‘kan cepat tuh,” beber Maria. Akhirnya pada 2018 lalu, Maria berhasil menyelesaikan studinya dan mendapat gelar Master program Human Resources Management and Services.

Perempuan Berdaya Pondasi Negara

Karena gelar master Human Resource-nya, tak sedikit perusahaan baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang melirik Maria. Namun bagi Maria, Papua masih terlalu menarik untuk ditinggalkan. Maria merasa masih banyak hal yang harus diperbaiki di tanah kelahirannya. “Jadi pertama orangtua yang bikin pulang, kemudian ya Papua. Papua (saat ini) tidak baik-baik saja. Jadi memang harus sekolah, dan memang harus kembali mengabdi. Kalau saya tidak menyaksikan dan merasakan langsung perkembangan dan perubahan apa yang terjadi di Papua, saya tidak bisa bantu untuk merubahnya. Jadi betul-betul harus merasakan setiap hal detail yang terjadi,” ungkap wanita 31 tahun tersebut.

Menurut Maria dia juga sudah “terlalu Indonesia”. “Dulu selesai sekolah 2006 SMA, lanjut langsung IPDN. Terus beasiswa LPDP lagi, jadi full anak Indonesia. Jadi nggak bisa macam-macam sama Indonesia,” terang Maria.

Setelah sebelumnya menjadi staf dan sekretaris lurah, kini Maria diberi mandat sebagai Lurah di Gurabesi, di pesisir Jayapura bagian Utara. Baginya beasiswa LPDP membuatnya lebih perhatian pada pembangunan di Papua dan tidak memikirkan diri sendiri.

Setelah semua pencapaiannya, Maria tidak cepat berpuas diri. Banyak hal yang masih ingin ia capai. Salah satu keinginannya adalah mempunyai sebuah yayasan atau organisasi yang mewadahi para perempuan, terutama mama (sebutan untuk para ibu di Papua) serta anak-anak dengan tujuan agar perempuan lebih bisa mandiri dan berdaya saing.

Mereka itu harus dikasih harapan, mereka harus dikasih kekuatan extra, dikasih pemberdayaan. Dan saya rasa kalau perempuan dengan anak  kita berdayakan dengan baik, khususnya di Papua, mereka akan menopang pembangunan yang ada di Papua,” harap Maria. Bagi Maria, perempuan adalah fondasi utama sebuah keluarga bahkan negara.

Kepercayaan diri merupakan hal yang sulit didapat oleh anak-anak Papua. (Foto: Anas Nur Huda)

Dari Mata Garuda untuk Papua

Pada 2021 lalu Maria terpilih sebagai ketua organisasi Mata Garuda Papua, sebuah perkumpulan para alumni awardee LPDP yang berasal dari Papua. Maria berfikir bahwa Mata Garuda harus lebih banyak menyebarkan informasi terutama tentang beasiswa LPDP, Maria tidak mau hal yang terjadi pada dirinya dulu, yang miskin informasi, terjadi pada adik-adiknya.

Awalnya, progam Maria dan timnya sedikit terhambat karena pandemi. Mereka hanya bisa melakukan sosialisasi melalui video conference saja. Namun mulai tahun 2022, sosialisasi secara fisik telah dapat mulai dilakukan. “Pakai dana pribadi. Kita pakai dana sendiri, kita buat sosialisasi secara zoom dan ketemu langsung. Kita buatkan telegram untuk anak-anak Papua yang mau tanya-tanya tentang beasiswa LPDP,” jelas Maria.

 Dengan makin gencarnya sosialisasi yang dilakukan Maria dan Mata Garuda, saat ini anggota grup media sosial mereka telah mencapai 500-an orang, jumlah yang tidak sedikit menurut Maria. Baginya, itu awal yang baik untuk bisa membangun kepercayaan diri anak-anak Papua. “Di situ, semuanya boleh tanya jadi banyak yang kemarin lolos(beasiswa LPDP),” ucap Maria dengan bangga.

Kepercayaan diri merupakan hal yang sulit didapat oleh anak-anak Papua. Menurut Maria sistem sekolah saat ini hanya mendorong anak yang sudah pandai saja, tapi terkadang lupa untuk mendukung siswa yang kurang pandai. “Kalau saya berpikir kenapa tidak anak-anak Papua yang difokuskan dibuatkan kelas khusus, masukkan mereka dan didukung secara dana dan program. Kan tujuannya mencerdaskan kehidupan bangsa,” jelasnya.

 Maria beranggapan anak Papua harus dirangkul, diberi rasa percaya diri bahwa mereka bisa sehingga tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa terkecuali bisa digapai. Selain itu, Maria berharap pemerintah bisa membuat wadah untuk anak muda Papua dalam menyalurkan potensinya. “Misalnya di SMA yang suka biologi, bikinlah komunitas biologi sehingga mereka akan fokus di biologi. Ada yang hobinya jualan atau entrepreneur UMKM, dibuatlah wadah jadi dari kecil sudah fokus seperti (sistem) di luar negeri,” usul Maria.

Maria berpesan agar putra putri Papua bisa lebih berani dalam menyampaikan pendapat. “Saya pesan buat anak-anak Papua yang masih minder, pokoknya kamu tuh bisa. Jadi apapun yang kamu mau, selama itu baik, sesuai dengan kaidah agama, baik untuk kemakmuran orang banyak, bermanfaat untuk orang banyak, kalian bisa dobrak semua pintu. Pintu-pintu yang bilang kau (harus) diam, kau bicara (saja), kamu tidak usah diam. Tidak selamanya orang dewasa, orang yang lebih tua dari kita mengerti semua hal. Boleh berdebat atau boleh memberikan pendapat, tapi berikan pendapat dengan cara hormat kepada orang tua, sehingga orang tua bisa terima dengan baik karena disampaikan dengan baik dan sopan ke orang tua,” pungkas Maria.