Pajak: Senjata Penangkal Awan Gelap Perekonomian

3 Juli 2023
OLEH: Muhammmad Rayhan Safhara, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pajak: Senjata Penangkal Awan Gelap Perekonomian
 

“2023 is gonna be dark and darker”, begitulah pernyataan managing director International Monetary Fund (IMF). Setelah melawan dampak pandemi Covid-19, perekonomian dunia dihantui awan gelap berupa inflasi yang disertai pertumbuhan lambat dan pengangguran tinggi (stagflasi). Awan gelap tersebut kian mencekam karena kondisi ketidakpastian pasar keuangan global, serta situasi geopolitik yang terjadi secara bersamaan dengan isu perubahan iklim.

Seorang ekonom top dunia, Nouriel Roubini pada artikelnya yang berjudul "We're Heading for a Stagflationary Crisis Unlike Anything We've Ever Seen", menyampaikan bahwa pada krisis tahun 1970 stagflasi tidak dibarengi dengan krisis utang. Sedangkan pada tahun 2008, krisis utang dunia tidak dibarengi inflasi yang tinggi. Saat ini, dunia akan menghadapi keduanya, yaitu kombinasi stagflasi 1970 dan krisis utang global 2008.

Krisis ekonomi tidak hanya mengancam negara maju, tapi juga negara miskin dan berkembang seperti Indonesia. Dalam merespon kondisi inflasi yang tinggi, Bank Sentral Amerika yang dikenal dengan istilah The Fed akan menaikkan suku bunga acuan. Kebijakan ini berdampak pada penguatan dolar Amerika karena para investor di negara berkembang akan memindahkan dananya ke negara tersebut. Ketika dolar semakin perkasa, tentu rupiah akan melemah.

Pada beberapa kesempatan, Presiden Indonesia Joko Widodo mengajak masyarakat untuk waspada dalam menghadapi awan gelap perekonomian. Menteri Keuangan Sri Mulyani menerangkan bahwa kondisi geopolitik Amerika dan China sebagai penguasa ekonomi dunia yang disusul perang Rusia Ukraina tidak hanya berdampak pada pasar keuangan, tetapi juga menyasar kebutuhan masyarakat umum, yakni energi hingga pangan.

Menariknya, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal pertama tahun 2023 sebesar 5,03 persen. Angka tersebut cukup mengejutkan karena bertolak belakang dengan prediksi para pengamat ekonomi. Di tengah berbagai gejolak, ekonomi Indonesia termasuk yang tumbuh kuat. Lantas mengapa ini terjadi?

 

 Peran Pemerintah

Mengacu pada landasan hukum tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 27, 31, 33, dan 34 yang berisi tentang hak warga negara, patutlah yang memiliki kewajiban untuk menyediakan berbagai hak khususnya ekonomi dan kesejahteraan tersebut adalah pemerintah.

Disamping itu, mengutip buku Pelaku Kegiatan Ekonomi (2019) karya T. Puji Rahayu, pemerintah berperan sebagai pengendali perekonomian (regulator) yang bertujuan untuk menciptakan kestabilan ekonomi. Penyusunan regulasi tersebut diantaranya berkaitan dengan kebijakan fiskal, moneter, hingga ekonomi internasional.

Negara membutuhkan intervensi pemerintah untuk menstabilkan kondisi perekonomian yang penuh ketidakpastian. Menanggapi permasalahan yang dihadapi, pemerintah Indonesia merancang sebuah senjata yang berfungsi sebagai shock absorber. Senjata tersebut ialah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dimanfaatkan untuk meredam guncangan ekonomi.

Tingkat inflasi yang tinggi mempengaruhi secara negatif konsumsi rumah tangga yang berperan krusial dalam pertumbuhan ekonomi. Kenaikan harga barang dan jasa menyebabkan konsumen memilih untuk menahan belanja. Keberadaan APBN mampu meredam dampak negatif inflasi tersebut melalui alokasi subsidi dan kompensasi yang lebih tinggi.

Selagi menghadapi permasalah kenaikan harga, masyarakat dihadapkan oleh permasalahan turunnya pendapatan. Hal ini dikarenakan beberapa perusahaan harus melakukan penghematan bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kebijakan yang diambil perusahaan demi bertahan berdampak pada turunnya permintaan pasar sementara tingkat pengangguran semakin meningkat.

Lagi - lagi APBN harus menjaga daya beli masyarakat dengan penguatan program belanja perlindungan sosial yang tepat sasaran. Stimulus untuk dunia usaha harus diberikan dalam rangka menjaga momentum pemulihan ekonomi yang berkelanjutan. Sehingga terjadi penyerapan kembali tenaga kerja yang mengurangi angka pengangguran serta kemiskinan.

Pemulihan ekonomi juga harus disokong oleh ketersediaan infrastruktur yang handal. Pemerintah berupaya melakukan optimalisasi pengeluaran dan menjaga prioritas belanja untuk sektor produktif melalui APBN. Pembangunan infrastruktur berkualitas dapat memicu produktivitas kegiatan ekonomi. Pada akhirnya, penggunaan APBN yang kredibel menjadi kunci bergeraknya roda ekonomi. 

Pajak dalam keberlangsungan APBN

Rapor yang dirilis oleh BPS seakan membuktikan pemerintah Indonesia berhasil menggunakan APBN sebagai senjata ampuh dalam menghadapi gejolak perekonomian. Pertanyaan selanjutnya, komponen apa saja yang menjadi penyusun APBN sehingga mampu menopang Indonesia agar tetap berdiri kokoh diterjang awan gelap bahkan badai ekonomi?

Pada dasarnya, APBN disusun oleh lima komponen utama yaitu pendapatan negara, belanja negara, keseimbangan primer, surplus/defisit anggaran, serta pembiayaan anggaran. Dilansir melalui buku informasi APBN 2023 yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan, pendapatan negara berasal dari beberapa sumber diantaranya pajak sekitar 70 persen, kepabeanan dan cukai sekitar 12 persen penerimaan negara bukan pajak  sekitar 18 persen, dan hibah yang tidak sampai 0,1 persen.

Melihat data tersebut, dapat dikatakan proporsi pajak terhadap APBN bak cairan di dalam tubuh manusia. Dari berbagai informasi kesehatan, manusia akan mengalami dehidrasi yang berujung kematian apabila kekurangan cairan. Sama halnya dengan pajak, sebuah negara sangat bergantung dengan penerimaan pajak untuk terus bertahan dan berkembang.

Dikutip dari situs www.pajak.go.id, pajak memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara. Salah satu fungsi pajak yaitu fungsi stabilitas. pemerintah memiliki dana melalui mekanisme perpajakan sehingga dapat menjalankan kebijakan yang terkait dengan penanganan inflasi bahkan krisis ekonomi.

Kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi melalui pajak diantaranya Undang-Undang (UU) No. 2 Tahun 2020 yang menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan dari 25 persen menjadi 22 persen. Selain itu, melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018 yang dicabut dengan PP No. 55 Tahun 2022, pemerintah memberikan fasilitas tarif pajak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) hanya 0,5 persen dari peredaran bruto.

Jika melihat Undang – Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pajak didefinisikan sebagai iuran atau kontribusi wajib yang terutang dan dibayarkan oleh wajib pajak kepada negara.

Definisi tersebut cukup menjelaskan bahwa ketangguhan APBN khususnya pajak pada dasarnya bersumber dari para pembayar pajak itu sendiri. Semakin besar kontribusi para pembayar pajak, semakin kokoh APBN dalam melawan gejolak.

Untuk itu, negara kita Indonesia membutuhkan semangat gotong – royong seluruh elemen pembayar pajak. Dimulai dari instansi pemerintah baik pusat maupun daerah, perusahaan swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Daerah, serta seluruh lapisan masyarakat. Apabila seluruh elemen tersebut memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar dan sesuai ketentuan, pastilah awan gelap akan berganti dengan cerahnya sinar mentari.

*Disclaimer: tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi tempat penulis bekerja saat ini.

 


Muhammmad Rayhan Safhara, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak