Perkuat Reformasi, Capai Target Pajak

3 Juli 2023
OLEH: CS. Purwowidhu
Perkuat Reformasi, Capai Target Pajak
 

 Penerimaan perpajakan menjadi tumpuan utama sumber pendapatan negara. Dengan kontribusi rata-rata sebesar 80 persen terhadap pendapatan negara. Pajak tidak hanya menjadi tulang punggung pembangunan, namun juga turut mendorong pemulihan ekonomi semasa pandemi melalui pemberian berbagai insentif dan fasilitas perpajakan.

Tren penerimaan perpajakan dari tahun ke tahun menunjukkan kinerja yang meningkat. Realisasi penerimaan perpajakan tahun 2019-2022 tumbuh rata-rata 9,2% dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pada 2019 penerimaan perpajakan mengalami perlambatan akibat moderasi harga komoditas serta terdampak oleh gejolak ekonomi global seperti perang dagang AS-Tiongkok. Lalu di 2020, penerimaan perpajakan terkontraksi hingga 16,9% akibat pandemi Covid-19.  

Pada 2021 dan 2022 seiring pemulihan ekonomi, kinerja penerimaan mengalami peningkatan. Tahun 2021 penerimaan perpajakan tumbuh signifikan 20,4%, kembali ke level prapandemi. Tren positif terus berlanjut di 2022 dengan pertumbuhan mencapai 31,4%.

Realisasi penerimaan perpajakan 2022 tercatat sebesar Rp2.034,6T atau mencapai 114,0% dari target APBN. Yang terdiri dari penerimaan pajak sebesar Rp1.716,8 triliun (115,6% dari target) serta kepabeanan dan cukai sebesar Rp317,8T (106,3% dari target). Performa penerimaan perpajakan tersebut mendorong rasio perpajakan (tax ratio) Indonesia kembali ke level double digit 10,39% dari yang sebelumnya sebesar 9,11% di 2021 dan 8,33% di 2020.

Pemulihan ekonomi, dorongan tren harga komoditas yang masih tinggi, serta kelanjutan reformasi perpajakan yang diterapkan sejak awal tahun 2022 melalui Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) memperkuat penerimaan perpajakan tahun lalu.

Sementara penerimaan pajak Januari hingga Mei 2023 tercatat masih tumbuh positif double digit, yang utamanya didorong oleh pertumbuhan ekonomi di triwulan I 2023. Namun melambat di dua bulan terakhir akibat penurunan harga komoditas dan perlambatan impor.

Optimis capai target

Director, DDTC Fiscal Research & Advisory, Bawono Kristiaji atau kerap disapa Aji, optimis realisasi penerimaan pajak tahun 2023 yang ditargetkan sebesar Rp1718 triliun akan tercapai, mengingat historis tren pertumbuhan realisasi penerimaan pajak tahunan selama ini berada pada kisaran 7-8%.

Jadi secara umum, optimis tercapai. Jadi 3 tahun berturut-turut ya mudah-mudahan nanti realisasinya bisa tembus dari 100%,” ujar Aji.

Kendati demikian, Aji mewanti-wanti agar Pemerintah tetap mewaspadai perlambatan ekonomi global, khususnya pelemahan harga komoditas yang akan berdampak signifikan pada performa PPh Badan sepanjang 2023.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, PPh Badan berkontribusi 28,7% dari total penerimaan pajak yang hingga akhir Mei 2023 mencapai Rp830,29 triliun atau setara 48,33% dari target APBN 2023. Realisasi penerimaan PPh Badan tercatat tumbuh 24,8% sepanjang Januari hingga Mei 2023. Namun, pertumbuhan PPh Badan tersebut melambat jika dibandingkan periode sama di tahun 2022 yang mencapai 127,5%.

Penurunan harga komoditas tak terhindarkan sejalan melemahnya permintaan mulai dari crude palm oil (CPO) hingga batu bara. Terkait hal tersebut Dirjen Pajak Suryo Utomo menyampaikan Ditjen Pajak akan terus memonitor pergerakan harga komoditas dan mengkalibrasi penerimaan pajak di 2023.

Sementara itu, Aji mengapresiasi langkah Pemerintah untuk mulai mengurangi ketergantungan sumber penerimaan dari sektor komoditas sumber daya alam yang rentan terfluktuasi. Baik melalui hilirisasi SDA maupun optimalisasi sektor-sektor lainnya.

Aji mengamati selama beberapa tahun terakhir pertumbuhan penerimaan dari sektor-sektor lain lebih terdistribusi secara normal. Seperti dari sektor manufaktur, jasa keuangan, perdagangan besar, dan sebagainya.

Di sisi lain, Aji berpandangan strategi yang ditempuh Pemerintah baik melalui reformasi administrasi maupun kebijakan perpajakan yang berlandaskan pada UU HPP sangat penting dalam mendorong peningkatan penerimaan di 2023 ini, terlepas dari harga komoditas yang terus melemah.

Dari segi administrasi, dia menilai sudah ada pembenahan antara lain melalui penerapan compliance risk management yang memungkinkan peningkatan akurasi dalam pemetaan profil risiko wajib pajak. Serta upaya pengintegrasian data untuk mendorong efektivitas administrasi dan kepatuhan pajak.

Sementara dari sisi kebijakan, Aji berharap ketentuan teknis turunan UU HPP atau Peraturan Menteri Keuangan dari beberapa instrumen yang belum memiliki ketentuan teknis, dapat segera terbit.

Beberapa kebijakan yang dinantikan ketentuan teknisnya antara lain mengenai anti penghindaran pajak. Setiap tahunnya menurut Aji jumlah penerimaan pajak yang hilang akibat tax avoidance dan offshore tax evasion diperkirakan mencapai Rp69 triliun. Sehingga dengan adanya ketentuan teknis anti penghindaran pajak, akan lebih efektif dalam menangkal aktivitas penghindaran pajak Indonesia.

Ketentuan teknis lainnya yang juga ditunggu-tunggu yaitu mengenai rencana penunjukan penyedia platform marketplace dalam e-commerce sebagai pemotong/pemungut pajak. Serta ketentuan teknis pajak natura atau pajak atas fasilitas atau kenikmatan yang diberikan oleh perusahaan dalam bentuk barang pada pegawai atau karyawan.

“Nah hal-hal itulah yang tentu kita tunggu sehingga jika ketentuan ini terbit, pasti baik dari sisi administrasinya maupun dari sisi policy nya bisa berjalan beriringan sehingga lebih kokoh penerimaan pajak kita di kemudian hari, terutama di tengah pelemahan harga komoditas,” papar Aji.

Optimalkan penerimaan

Hingga akhir Mei 2023 penerimaan pajak dari seluruh sektor utama tercatat tumbuh positif meskipun mayoritas melambat dibandingkan periode sama di 2022.

Industri pengolahan dan perdagangan yang berkontribusi cukup besar terhadap penerimaan pajak masing-masing tumbuh hanya sebesar 9,4% dan 9,3%, dibandingkan periode sama di 2022 yang masing-masing tumbuh sebesar 50,9% dan 61,6%. Perlambatan pertumbuhan tersebut terjadi karena tingginya basis 2022 serta perlambatan impor.

Sementara itu, di tengah normalisasi harga komoditas, setoran pajak dari sektor pertambangan hingga Mei 2023 meski masih tumbuh positif sebesar 62,9% namun melambat dibandingkan realisasi pada periode sama tahun lalu yang mencapai 259,7%.

Sektor pertambangan masih tumbuh kuat ditopang tingginya harga komoditas tahun 2022 yang mengakibatkan peningkatan profitabilitas dan PPh Badan yang dibayarkan saat pelaporan SPT Tahunan.

Di samping melemahnya harga komoditas, penerimaan pajak tahun ini juga menghadapi tantangan lain di antaranya kebijakan program pengungkapan sukarela (PPS) yang tidak berulang dan tidak adanya tambahan penerimaan dari kenaikan tarif PPN.

Karena itu, Pemerintah perlu terus mengoptimalkan potensi penerimaan pajak sektoral.   

Aji menjelaskan untuk melihat sejauh mana keoptimalan kontribusi sektoral bisa dicermati dengan cara membandingkan kontribusi PDB per sektor dengan kontribusi penerimaan pajak di sektor tersebut.

Sebagai contoh, di 2022 sektor pertambangan tercatat berkontribusi sebesar 12,2% terhadap PDB. Namun, kontribusi sektor tersebut terhadap penerimaan pajak baru sebesar 8,3%.

Begitu pula dengan sektor pertanian dan konstruksi yang pada 2022 masing-masing berkontribusi sebesar 12,4% dan 9,8% terhadap PDB. Tetapi hanya berkontribusi terhadap penerimaan pajak masing-masing sebesar 1,4% dan 4,1%.

Belum selarasnya penerimaan pajak secara sektoral tersebut antara lain disebabkan oleh policy gap misalnya pemberlakuan PPh final pada sektor konstruksi real estate, pengecualian PPN di sektor pertanian. Bisa juga dikarenakan adanya compliance gap, serta hard to tax sector khususnya pada sektor pertanian.

Kondisi ketidakselarasan ini akan mempengaruhi tax buoyancy (salah satu indikator untuk mengukur elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan produk domestik bruto atau PDB). Yang selanjutnya berdampak pada pertumbuhan tax ratio. Sebab itu, sangat diperlukan penelaahan mendalam atas sektor-sektor yang belum secara optimal dipajaki (undertax).

“Harusnya kan 1% pertumbuhan PDB itu bisa ditransformasikan terhadap 1% pertumbuhan penerimaan pajak. Kuenya makin besar harusnya juga penerimaan pajaknya besar. Nah kalau ada mismatch seperti ini akhirnya tax buoyancy kita sulit untuk mencapai angka lebih dari 1. Kalau tax buoyancy nya relatif lemah artinya nanti juga tax ratio kita juga relatif tidak banyak berkembang juga,” jelas Aji panjang lebar.

Dorong reformasi pajak

Pemerintah terus berupaya melakukan optimalisasi penerimaan pajak dengan menjaga rasio pajak terus meningkat secara bertahap. Upaya tersebut ditempuh antara lain dengan melakukan optimalisasi perluasan basis pemajakan melalui pengawasan wajib pajak (WP) sebagai tindak lanjut Program Pengungkapan Sukarela (PPS) serta implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP yang mulai wajib berlaku pada 1 Januari 2024.

Mengomentari penggunaan NIK sebagai NPWP, Aji berpendapat hal tersebut akan sangat bermanfaat untuk menutup celah compliance gap. Menurut dia tingginya tingkat shadow economy di Indonesia menjadi salah satu tantangan penerimaan negara. Shadow economy merupakan sektor-sektor atau kegiatan atau aktivitas ekonomi baik legal maupun ilegal yang tidak tertangkap oleh radar pemantauan otoritas.

“Di 2021, ada 140 juta angkatan kerja di Indonesia, tapi hanya 61,5 jutanya saja yang punya NPWP.  Dengan adanya integrasi penggunaan NIK sebagai NPWP, ini memungkinkan sejak awal ada pemetaan (wajib pajak) atau masuk dulu dalam radar otoritas. Kemudian dari situ lebih mudah untuk dipetakan profiling nya, matching nggak sih antara profilnya sama pembayaran pajaknya? Itu lebih mudah untuk dilakukan, dibandingkan kalau kita gak punya sistem penggunaan NIK sebagai NPWP,” lanjut Aji.

Di samping penggunaan NIK sebagai NPWP, Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu (DJP) saat ini juga tengah mempersiapkan implementasi pembaruan sistem inti administrasi perpajakan atau Core Tax Administration System (Core Tax System).

Pembaruan sistem administrasi perpajakan tersebut meliputi organisasi, sumber daya manusia, peraturan perundang-undangan, proses bisnis, dan teknologi informasi serta basis data.

Melansir dari laman resmi DJP, Core Tax System merupakan sebuah sistem teknologi informasi yang menyediakan dukungan terpadu bagi pelaksanaan tugas DJP, termasuk otomasi proses bisnis seperti pemrosesan surat pemberitahuan, dokumen perpajakan, pembayaran pajak, dukungan pemeriksaan dan penagihan, pendaftaran wajib pajak, hingga fungsi taxpayer accounting.

Pemberlakuan Core Tax System telah tertuang di dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018. 

Aji sepakat bahwa core tax system bisa mendorong penerimaan pajak melalui peningkatan kepatuhan.

Core tax system bukan hanya akan mempermudah layanan dari yang sebelumnya manual menjadi digital. Namun juga akan memperkuat pengawasan dan penegakan hukum berdasarkan basis data dan risiko. Serta diharapkan dapat mendorong peningkatan tax ratio.

Sistem pengelolaan pajak yang terdigitalisasi menurut Aji juga dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang. Di samping penguatan kepastian hukum di bidang perpajakan untuk mengurangi multiinterpretasi peraturan di lapangan, penguatan tata cara penegakan hukum di bidang perpajakan, serta pengenaan sanksi pajak yang lebih proporsional.

“Jadi dua instrumen ini, yaitu core tax system dan juga penggunaan NIK sebagai NPWP. Ini menurut saya adalah terobosan administrasi yang paling penting dan akan menentukan keberhasilan penerimaan pajak kita di tahun ini dan tahun mendatang,” pungkas Aji.


CS. Purwowidhu