Perjalanan Angga Fauzan, dari Boyolali ke Skotlandia Lewat Beasiswa LPDP

20 November 2023
OLEH: Irfan Bayu
Perjalanan Angga Fauzan, dari Boyolali ke Skotlandia Lewat Beasiswa LPDP. Foto dari Dokumentasi Pribadi.
Perjalanan Angga Fauzan, dari Boyolali ke Skotlandia Lewat Beasiswa LPDP. Foto dari Dokumentasi Pribadi.  

Angga fauzan, tampak sebagai pemuda biasa, gayanya tidak banyak neko-neko, tapi ketika mulai berbincang, Angga, sapaannya, berubah menjadi orang yang berbeda. Pembawaannya yang luwes dan penuh percaya diri membuktikan Indonesia tidak salah membiayainya untuk melanjutkan program masternya di Skotlandia.

Buku menjadi jendela bagi Angga untuk melihat dunia lebih luas lagi, serta awal dari mimpi -mimpi besarnya. (Foto:Dok.Pribadi)

Titik Mula

Angga kecil, besar dan tumbuh di daerah Ciracas. Ayahnya berjualan ayam goreng dengan gerobak sederhana miliknya. Hingga kelas 4 SD, Angga menghabiskan waktunya di Ibu Kota. Hingga pada suatu ketika tempat berjualan ayahnya harus digusur lantaran pemerintah setempat ingin membuat sebuah taman. Kondisi membuat keluarga Angga harus rela pindah ke Boyolali, kampung halaman ayahnya.

Sebuah cerita besar mungkin muncul dari hal kecil yang tak terduga, begitu juga kisah Angga. Kakek angga punya sebuah gubuk yang sebelumnya dijadikan sebagai kandang untuk kambing-kambing miliknya. Setelah semua kambingnya dijual rumah gubuk itu kemudian dibersihkan dan diubah sedemikian rupa menjadi rumah sederhana yang akhirnya ditinggalinya, dan disanalah kisah itu bermula.

Angga tinggal disitu sejak saat itu hingga lulus sarjana. “Lantainya masih tanah, dindingnya bambu triplek yang kalau hujan bocor kemana-mana,” jelas Angga. Di kota yang terkenal susu sapinya itu, ayah Angga berubah haluan menjadi pengrajin tembaga. Memang di desa itu hampir semua penduduknya menggeluti pekerjaan sebagai pengrajin tembaga kuningan seperti lampu, hiasan dinding dan lain sebagainya. Sementara ibunya harus berjualan gorengan, berkeliling kampung atau terkadang hanya membantu orang untuk bersih-bersih rumah, apa saja dilakukan ibunya untuk menyambung hidup.

SMA 3 Boyolali jadi saksi perjuangan Angga yang berulang kali nyaris putus sekolah. (Foto:Dok.Pribadi)

Nyaris Putus Sekolah

Cerita tentang hampir putus sekolah adalah cerita yang sangat lekat dengan Angga. “Ketika SMP nih, teman-teman ngambil ijazah SMP biasanya langsung dianterin orang tuanya buat daftar SMA, saya nggak,” cerita Angga.  “Jadi waktu saya ambil ijazah SMP sama Bapak saya, kita langsung ke tempat kursus komputer biar bisa langsung kerja, biar entah mungkin jadi admin di pabrik mana atau toko mana,” kenang putra sulung dari dua bersaudara ini.

Angga menolak menyerah. Diam-diam Angga pergi ke SMA yang memang dia tuju, pergi dengan baju biasa untuk mengurangi kecurigaan, kemudian berganti baju sekolah ketika dia sampai di SMA untuk pendaftaran. Ketika dia diterima barulah dia memberitahu orangtuanya. Ayahnya tak kuasa menolak. Uang pangkal senilai 1,7 juta yang harus dibayarkan sebagai syarat dicoba pinjam kesana kemari. “Alhamdulillah dapat. Makanya tadi saya bilang, saya enggak mau menyia-nyiakan (sekolah SMA),” tegas Angga sungguh-sungguh.

Ruang guru BP menjadi tempat persinggahan favorit Angga setiap sebelum ujian diadakan. Bukan apa-apa, pasalnya Angga biasanya dipanggil untuk segera melunasi SPP-nya yang sering belum dibayar. Untuk bisa mengikuti ujian, Angga harus melunasinya terlebih dahulu.

Hobi Angga adalah menggambar. Komik-komik yang dibacanya sejak SMP membuatnya ingin sekali membuat komiknya sendiri. Hal itu juga yang kemudian diseriusi oleh Angga di SMA. Terhitung sudah 16 penghargaan dia dapatkan dari berbagai lomba berbau menggambar yang diikuti. Hal itu juga sebagai jawaban Angga atas kepercayaan yang orang tuanya beri setelah dia disekolahkan di SMA.

Kesukaannya membaca komik adalah awal Angga menyukai dunia desain. (Foto:Dok.Pribadi)

Angga dan Dunia Desain

Masih belum puas, Angga seperti sengaja mendobrak pintu tebal yang menghalangi. Desain Komunikasi Visual (DKV) jadi dambaanya untuk melanjutkan studi, walau dia belum tahu bagaimana cara dia berkuliah sementara untuk membayar SPP setiap bulan saja dia kesulitan. Namun Angga tetap yakin. Angga teringat nasihat guru sosiologi SMA-nya yang pernah berkata, “jika kamu mengejar sesuatu, coba kejar yang maksimal, yang paling bagus, belajarlah di tempat terbaik.” Angga mencoba mencari info lewat HP yang ia dapat dari tabungan uang hadiah miliknya, dan muncullah Institut Teknologi Bandung sebagai salah satu tempat belajar desain terbaik di Indonesia, meski belum yakin betul memang. “Oke saya mau masuk sana, tapi gimana caranya? Masuk ITB mahal. Katanya udah ngalahin kedokteran, aset orangtua saya kalau dijual juga enggak sampai tuh bisa ke sana,” pikir Angga. Petunjuk Tuhan memang tidak ada yang menduga. Saat itu ada beberapa mahasiswa ITB yang akan melakukan sosialisasi, bahagianya lagi, saat itu mereka menjelaskan tentang bidikmisi bagi calon mahasiswa yang kurang mampu.

Singkat cerita, Angga berhasil mendapatkan Bidikmisi di ITB jurusan DKV yang dia impikan. Ketika ditanya kenapa Angga lebih memilih DKV daripada seni rupa yang masih serumpun, menurutnya kembali lagi ke urusan biaya. “Praktical sederhana adalah karena saya anak Bidikmisi. DKV itu lebih murah secara urusan tugas-tugas kuliah karena ibarat kata kita tinggal modal laptop lah atau sesekali mungkin nge-print, sementara kalau seni rupa tahu sendiri kanvas, cat, kuas, dan seterusnya,” ungkap Angga. Untuk masalah laptop dia mendapat bantuan dari tetangganya di Boyolali. Selain itu, menurut Angga DKV lebih relate dengan kehidupannya sehari-harinya, seperti ketika dia berorganisasi dibutuhkan orang untuk membuat logo, poster, dan sebagainya. Di dunia perkuliahan, Angga ramai prestasi, dan sangat aktif dalam berorganisasi. Banyak kepanitian dan organisasi yang dia ikuti. Itu juga salah satu yang membentuk dirinya menjadi seperti saat ini.

Angga bersama teman-teman komunitas Boyolali Bergerak bersama anak-anak Boyolali. (Foto:Dok.Pribadi)

Boyolali Bergerak

Di setiap semester yang dilaluinya, Angga selalu mengambil 24 sks setiap semesternya. Karena semua materi kuliah sudah diselesaikannya, pada tingkat akhir hanya segelintir saja sisa kuliah yang harus Angga ambil. Tak mau berdiam diri, pada 2016 Angga bersama teman-teman di desanya di Boyolali membuat suatu komunitas yang diberi nama Boyolali Bergerak.

“Jadi Boyolali Bergerak adalah komunitas sosial dan pendidikan di daerah saya Boyolali Jawa Tengah yang fokusnya adalah kita satu. Kita membuat taman pendidikan Al-Quran, kita ada ngasih bantuan sosial, banyak pelatihan, bimbingan beasiswa, dan seterusnya,” terang pemuda kelahiran 1994 ini. Saat ini komunitas tersebut masih aktif bahkan semakin berkembang. “Sekarang kita lagi buka juga program beasiswa dan kakak asuh buat pelajar SMA-SMK yang membutuhkan buat bantuan ke kuliah,” sambungnya. Alih-alih menambah anggota dia lebih berfokus untuk menambah daerah yang bisa dia bantu. Benar saja, saat ini dari 19 kecamatan di Boyolali sudah 11 kecamatan yang berhasil dia kembangkan.

Angga berhasil memperoleh beasiswa untuk bersekolah di The University of Edinburg UK, dalam program Magister of Science, Design and Digital Media, Edinburg College of Art. (Foto:Dok.Pribadi)

Dari Boyolali menuju Skotlandia

Angga masih punya mimpi besar lainnya yaitu melanjutkan pendidikan. Dari senior kampusnya Angga pertama tau tentang Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sekitar tahun 2014, mulai dari situ Angga berusaha menyiapkan segalanya. “Jadi memang cita-cita buat bisa lanjut studi itu udah ada dari SMP ya, kemudian kita berpikir bahwa, wah ternyata ada ya dunia yang memang benar-benar luas. Dari situ (saya) terinspirasi untuk menjelajahi dunia-dunia baru. Kemudian kita mulai siapkan sejak masuk kuliah ya, udah mulai banyak ikut kursus, udah mulai banyak belajar mandiri, dan seterusnya,” jelas Angga.

Angga sadar kekurangannya ada di bahasa Inggrisnya. Ujian nasionalnya saja hanya mentok di angka enam. “Maka dorongan pertama saya waktu itu adalah saya mesti membuat ekosistem di mana saya suka-enggak suka, mau-enggak mau harus lebih rajin belajar bahasa Inggris. Setelah lulus kuliah Angga sudah bekerja. Dari gajinya dia mencoba untuk terus menerus mengambil tes TOEFL selama tiga bulan hingga deadline untuk mendaftar LPDP. Tapi sayangnya belum ada yang memenuhi target, alhasil dia harus mengubur mimpinya melanjutkan studi saat itu. Merasa kurang, Angga lalu resign dari pekerjaannya dan berguru selama sebulan di Pare, Kediri. Dan akhirnya, setelah itu barulah dia bisa memenuhi target standar yang disyaratkan untuk mendaftar beasiswa.

Persiapannya tak hanya sampai disitu. Jauh sebelum mendaftar, Angga juga telah mempersiapkan 150 daftar pertanyaan dan jawaban berbahasa Inggris dan Indonesia. Dia terus berlatih bahkan dalam sehari dia bisa melakukan latihan dengan 5 orang berbeda agar semakin lihai dalam merangkai kata. Portofolio juga salah satu hal penting yang menurut Angga harus disiapkan selain wawancara dan bahasa Inggris. Tahun 2017 angga kembali mencoba peruntungannya di LPDP.

Satu hal unik terjadi sebelum pengumuman beasiswa. “Saya telepon Ibu saya. Saya bilang insyaallah besok saya akan terima, walaupun saya enggak tahu. Oleh karena itu, saya kirim uang ke Ibu, saya minta bikin syukuran satu RT,” kenang Angga sambil tertawa. Dan esoknya syukuran itu tidak sia-sia, Angga berhasil memperoleh beasiswa untuk bersekolah di The University of Edinburg UK, dalam program Magister of Science, Design and Digital Media, Edinburg College of Art.

Tak ada halangan berarti ketika Angga berkuliah. Dari sekitar 50 orang yang ada di kelasnya, Angga adalah satu-satunya orang Indonesia. Oleh karena itu, Angga ingin menunjukan bahwa Indonesia itu istimewa. “Jadi yang saya upayakan di jurusan saya waktu itu adalah gimana caranya walaupun saya enggak paling pintar tapi saya paling rajin. Dan itu ternyata berkesan banget ke prodi kami,” cerita Angga dengan bangga. Tak lupa Angga juga selalu membawa nuansa batik dalam setiap tugas desainnya.

Angga sebagai CEO sekaligus Founder MySkill, sebuah startup yang dikembangkannya semenjak 2019 lalu. (Foto:Dok.Pribadi)

Efek Domino

Singkat cerita, Angga berhasil mendapatkan gelar Masternya pada 2019. Tak seperti mahasiswa lainnya, Angga memilih untuk langsung pulang dan tidak mengikuti wisuda. “Kalau wisuda kan kita harus nunggu 2 bulan, 3 bulan, kita harus menyimpan uang kan? Uangnya saya mending pakai buat nyiapin kerja di Indonesia. Langsung mulai nyiapin apa yang mau saya coba siapin aja sih,” jelas Angga.

Pada tahun 2019, Angga bersama temannya mulai menginisiasi pembuatan startup di bidang pendidikan yang mereka beri nama MySkill. Angga dan temannya yang notabennya sama-sama anak bidikmisi dan pernah merasakan hampir putus sekolah karena terkendala biaya mencoba membuat satu paltform yang menyediakan berbagai kursus dan pelatihan agar bisa lebih siap dalam bekerja dengan biaya yang masih terjangkau. “Saya enggak mau ada orang-orang yang mengalami hal yang serupa. Karena saya ngerasa betapa sedih kita dibilang bahwa kamu tuh enggak punya duit, kamu nggak boleh lanjut, kamu nggak boleh belajar. Itu sedihnya minta ampun,” kata CEO MySkill ini.

Awalnya MySkill hanyalah proyek weekend yang dikerjakan Angga dan temannya saja. Angga sendiri sempat bekerja di beberapa startup besar di Indonesia setelah pulang dari United Kingdom (UK). Posisi-posisi strategis juga sempat Angga emban. Namun suatu ketika Angga didekati oleh salah satu investor besar di Asia Tenggara. Setelah lima hari pembicaraan akhirnya Angga berhasil mendapatkan investasi tersebut. Pada akhirnya di tahun 2022 Angga memutuskan untuk resign dari pekerjaannya dan full time mengurus MySkill.

Angga paham betul betapa dirinya yang berasal dari bekas kandang kambing, setelah mendapat beasiswa dan mendapatkan pekerjaan, saat ini telah mampu membantu kehidupan keluarganya. “Makanya kita bangun My Skill untuk bisa ngebantu banyak orang dapetin skill dan pekerjaan yang dia impikan sehingga dia bisa bantu dirinya, keluarganya, dan sekitarnya. Jadi kayak efek dominonya kita kayak ingin menciptakan orang-orang yang seberuntung Angga dan co-founder nya Angga,” terang Angga. Saat ini MySkill telah mempunyai 1,6 juta user. “Kalau kita bisa bantu orang dapat skill dan pekerjaan dan pendidikan yang layak (itu) bisa jadi domino effect. Aku ngebayangin bahwa ketika 1,6 juta aja bisa enggak bantuin 3 orang 4 orang anggota keluarganya. Itu udah kayak mungkin 4-5 juta orang sebenarnya yang terbantu,” sambung Angga.

Menurut Angga banyak anak muda saat ini belum paham betul jika ijazah saja tidak cukup untuk mencari pekerjaan. Banyak juga yang sudah belajar banyak hal tapi mereka tidak tahu akan pergi kemana. “Jadi segmen ini yang kita coba reach out agar mereka lebih tersadarkan dan lebih terbantu biar bisa lebih kenal dirinya, lebih tahu dia mau ke mana, dan dia bisa exececute. Oke aku mau ngejar itu,” jelas Angga. “My Skill ini akan berhenti dan ditutup ketika semua orang Indonesia udah bisa dapat keahlian dan pekerjaan yang mereka impikan,” harap Angga.

Orangtua Angga yang selalu mendukung semua impian Angga. (Foto:Dok.Pribadi)

Keluarga dan Pesan Angga

Tak dapat dipungkiri, Angga berdiri saat ini berkat dukungan dari keluarganya. Sosok orang tua diakui Angga jadi hal utama yang membentuknya. Sosok Ayah yang tegas dan berpendirian teguh ketika ingin mencapai sesuatu tercermin lewat Angga yang tak mudah menyerah dan tidak mudah putus asa ketika dihadapkan oleh tembok tinggi yang menghalangi mimpinya. Sementara sosok Ibu yang mudah bergaul menjadi panutan bagi Angga dalam bersosialisasi.

Angga juga berterimakasih pada orangtua yang selalu mendukungnya dalam segala hal. “Kedua orangtua saya enggak lulus SD. Bapak saya enggak lulus SD. Ibu saya enggak lulus SD. Jadi bahkan sampai sekarang pun kalau mereka ditanya Angga tuh kuliahnya ngapain? Mungkin mereka juga nggak ngerti. Mereka tuh lebih ke mau kuliah ya kuliah, jadi lebih ke ngebebasin. Yang penting kita serius,” kata Angga.

Angga berpesan hal yang paling pertama yang harus dilakukan adalah aware dengan diri kita sendiri. "Aware sama kekurangan kita, apa kelebihan kita, blind spot kita sehingga kita bisa ngejar apa yang kurang. Kita bisa belajar lebih banyak lagi,” pesan Angga. “Kalau kita mau jadi penggerak atau orang yang mau membuat sesuatu, jangan lupa bahwa gerakan kita itu akan sebesar seiring dengan skill yang kita miliki. Jadi misalkan saya mau bikin komunitas, atau saya mau bikin bisnis, saya mau bikin startup, jangan lupa bahwa besarnya startup akan seiring dengan besarnya skill yang kita punya. Jadi jangan sampai kita merasa kita sudah jago, dan merasa kita udah keren tahu semuanya, tapi kita juga harus terus belajar,” pungkasnya.