Piawai Mengelola Risiko

13 Oktober 2023
OLEH: Mohamad Ikhwan Maulana
J.B. Sumarlin dan istri berpose bersama Pak Harto saat Idul Fitri 2003. Foto ini ditandatangani dan dikirimkan oleh Pak Harto kepada Sumarlin.
J.B. Sumarlin dan istri berpose bersama Pak Harto saat Idul Fitri 2003. Foto ini ditandatangani dan dikirimkan oleh Pak Harto kepada Sumarlin.  

Peran sang begawan terbilang besar dalam mengelola dan menekan risiko pada tata kelola pembangunan dan keuangan negara, hingga ekonomi nasional pun terkatrol.

Ketika berkiprah di Bappenas, tahun 1969, Sumarlin beserta anggota tim lain di bawah pimpinan Widjojo Nitisastro, dihadapkan pada kondisi makro Indonesia yang buruk di berbagai bidang. Bahkan teramat buruk. Pendapatan per kapita Indonesia pada 1968, misalnya, baru sekitar 74 dolar AS dan menurut Bank Dunia, di tahun 1990, jumlah penduduk miskin saat itu mencapai 60 persen. Kualitas sumber daya manusia pun masih belum memadai, partisipasi sekolah rendah dan risiko kematian bayi tinggi. Kala itu, tingkat inflasi pun turun ke level 85 persen dari 112 persen (1967).

Karenanya, strategi pembangunan pasca penyerahan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto, Februari 1967, dirombak. Dari ekonomi terpimpin dan lebih mengutamakan pembangunan proyek politik, diarahkan untuk menggenjot pembangunan ekonomi dan pemerataan hasil-hasilnya. Setiap strategi pembangunan dilaksanakan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) secara bertahap. Sebagai pelaksananya, Soeharto yang sempat melanjutkan kerja Kabinet Ampera bentukan Soekarno, membuat kabinet sendiri yang diberi nama Kabinet Pembangunan I, II dan seterusnya sesuai tahapan Repelita.

Kabinet Pembangunan I dibentuk pada 1968. Untuk mencapai target Repelita I, semua pejabat dalam Kabinet Pembangunan I tentu harus bekerja keras. Dan Sumarlin berada dalam tim kerja keras ini.Kala itu, sang begawan didapuk menjadi Deputi Ketua II Bidang Fiskal dan Moneter. Tugasnya jelas, turut menjaga pengeluaran dan penerimaan negara hingga terjadi stabilitas ekonomi. Sumarlin berada di sini untuk periode 1969-1973, merangkap Sekretaris Dewan Moneter.

Bekerja bersama tim hebat, gairah kerja Sumarlin pun terlecut. Di tim ini ada Emil Salim (Deputi Bidang Ekonomi), Sujoto (Deputi Bidang Hukum dan Pembangunan Sosial), serta Slamet Danusudirdjo (Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan). "Ini yang membuat Bapak selalu bilang, kita harus benar-benar mengabdi. Karena Bapak mengalami kerasnya bekerja sebelum Indonesia jadi," ungkap Antonius Widyatma atau Antonius, anak ketiga sang begawan.

Betapa tidak, di awal-awal kebangkitan negara setelah G30S, ternyata banyak hal yang perlu dibenahi. Pun risiko-risiko yang mengintainya. Sebut saja praktik Kolusi Korupsi Nepotisme alias KKN, pungutan liar atau pungli, praktik misprosedural dalam tata kelola pemerintahan dan banyak lagi hal yang menghambat kualitas produktivitas, produksi, juga laju ekonomi. Termasuk masalah dalam pengadaan barang-barang pemerintah. 

Praktik-praktik tersebut dapat ditemukan hampir di berbagai bidang, sektor, dan level pemerintahan kala itu. Dan Sumarlin berpesan besar dalam pembersihan dan pemberantasannya.

J.B Sumarlin.

Mengemban Tugas Tambahan

Selain tugas pokok yang diemban setiap Departemen --kini Kementerian/Lembaga, upaya pembenahan praktik-praktik kurang baik tersebut menjadi tugas tambahan yang diberikan pemerintah. Termasuk kepada Sumarlin. Ketika menjadi Deputi Bappenas, misalnya, penetapan proyek-proyek atau perusahaan milik pemerintah --kini BUMN, yang bisa mendapat kredit investasi dari uang negara lewat Bank Indonesia, kala itu, pun dipercayakan kepadanya.

Sumarlin juga menjadi Ketua Tim Penanganan Krisis Pembangunan PT. Krakatau Steel (KS) pada 1975-1976. Kasus ini menjadi krisis bagi ekonomi Indonesia kala itu, krisis Pertamina. Jadi ada keterkaitan antarkeduanya. KS, misalnya menyerap Rp2,4 miliar dolar AS. Pertamina sekitar 7,8 miliar dolar AS. Sehingga, ditambah "pernak-pernik lain" total beban utang keduanya mencapai 10,5 dolar AS. Dan semuanya utang jangka pendek. Padahal cadangan devisa kala itu hanya sekitar 500 juta dolar AS. Tugasnya di sini di antaranya meninjau ulang kontrak-kontrak yang terlanjur dibuat, membatalkan atau mengurangi cakupannya. Termasuk negosiasi maraton dengan para kontraktor atau lender untuk menekan biaya proyek-proyek strategis dan harus dilanjutkan.

Sumarlin menjadi Ketua Tim Penanganan Krisis Keuangan PN Pertamina ini antara tahun 1975-1980. Kasus amat pelik. Melibatkan 11 lembaga pengadilan dunia. Menurut Sumarlin, dalam catatan "Dari Gantung Sumarlin sampai Finance Minister of the Year 1989", 2016, proses paling alot dialaminya ketika berurusan dengan Inter-Maritim Bank di New York, Amerika Serikat. Disebutkan, penyelesaian proyek yang senilai dana 3,3 miliar dolar AS dengan manajemen bank tersebut dipenuhi intrik. Hingga Sumarlin dan tim pun harus kerja keras menyelesaikannya. 

Tugas lain yang dibebankan kepada Sumarlin adalah memberantas tindak pidana korupsi. Ia menjadi Ketua Operasi Tertib (Opstib) untuk periode 1977-1983. Ketika berbicara pembenahan, artinya sang begawan juga membuatkan solusinya. Seperti solusi dalam pemberlakuan pajak bagi semua tak terkecuali BUMN, masalah sisa pinjaman Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) Rp700 miliar dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Pun berbagai solusi untuk menstabilkan dan mendorong laju ekonomi, serta menahan laju inflasi pada era Orde Baru.

Satu per satu masalah dan risiko pun diurai. Berkat peran kolektif, pelaksanaan strategi pembangunan dari Repelita I ke Repelita berikutnya pun menunjukkan tren optimis. Menurut Badan Pusat Statistik atau BPS, pada Repelita I (1969-1974), ketika sang begawan menjadi Deputi Bappenas, ekonomi Indonesia tumbuh konsisten di level 6,86-7,63 persen, bahkan sempat di atas delapan persen pada 1973. Inflasinya sempat di level terendah 2,47persen pada 1971 meski naik lagi ke 25,84 pada 1972 dan 33,32 persen pada akhir Repelita I. (Selengkapnya lihat boks)

Sebagaimana diungkapkan anak-anaknya, peran besar sang begawan bagi perbaikan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia tak lepas dari dukungan Widjojo Nitisastro. "Pak Widjojo betul-betul pembimbing dan panutan Bapak. Tempat meminta masukan, opini. Beliau telah menunjukkan dedikasi dan kerja keras untuk bangsa," kata Antonius diperkuat oleh anak sulung Sumarlin, Widy.

J.B. Sumarlin.

Menghadapi Teror dan Ancaman

Bekerja sebagai orang penting, terlebih sebagai pembuat kebijakan dan "bersih-bersih" kegiatan yang merugikan negara beserta pelakunya, membuat Sumarlin dan keluarga menjadi sasaran perilaku jahil oknum-oknum.

Menurut Widy, banyak upaya menjatuhkan sang ayah lewat berbagai cara. Mulai dari mengiming-imingi ibu dan keluarga dengan berbagai hadiah. Melakukan teror dan ancaman. "Tugas-tugas Bapak dalam membenahi lembaga atau instansi pemerintah ini banyak mengancam dirinya dan keluarga," ungkap Widy. Salah satunya ketika sang ayah membenahi kisruh pembangunan PT. Krakatau Steel pada tahun 1975. Proyek yang menelan Rp2,4 miliar dollar AS ini sarat dengan "kepentingan" banyak oknum. "Sebelumnya, ada Jenderal yang datang ke kantor Bapak dan menghardik. Lalu, di hari lain, Bapak kan biasa bekerja sampai malam di kantor. Tiba-tiba ada orang yang membawa golok dan mencari ruangannya malam itu," rinci Widy.

Selain itu, lanjutnya, ada orang-orang yang mengikuti dengan sepeda dan motor saat Bapak joging. Bukan fans, karena tindak-tanduknya mencurigakan. Kendati berhasil diusir oleh ajudan, tapi Bapak kapok berolahraga lagi. Hal itu diamini sang adik, Antonius sembari menambahkan perihal peluru nyasar dan upaya penculikan terhadap saudara perempuannya. "Pernah ada orang tak dikenal yang mau menjemput Efie --Sylvia Efie Widyantari, anak kedua Sumarlin, di sekolahnya. Padahal Efie selalu diantar-jemput sopir. Lalu pada suatu hari, waktu sedang bermain di halaman rumah di Menteng, kami dikagetkan teriakan ibu yang menyuruh kami segera masuk karena ada peluru nyasar," kisah Antonius. 

Untungnya semua selamat dan sang begawan dapat melanjutkan perannya hingga inflasi terkendali dan laju ekonomi pun menunjukkan tren positif. 


Mohamad Ikhwan Maulana
Artikel Lain
TELUSURI

J.B. Sumarlin, saat masih menjadi mahasiswa UI di rumah kos Rawamangun tahun 1957. Foto dari dokumentasi pribadi.
J.B. Sumarlin, saat masih menjadi mahasiswa UI di rumah kos Rawamangun tahun 1957. Foto dari dokumentasi pribadi.  

Berdayakan Perempuan, Dorong Perekonomian
Berdayakan Perempuan, Dorong Perekonomian