Widya Putra, Pengusaha Jamur Peraih Beasiswa LPDP

3 Juli 2023
OLEH: Irfan Bayu
widya putra awardee lpdp
widya putra awardee lpdp  

Berawal dari ajakan teman, Widya Putra, berhasil lolos seleksi menjadi angkatan pertama pada beasiswa LPDP dan menempuh pendidikan di Belanda. Saat ini lulusan Wageningen University dengan jurusan food quality manajemen ini telah berhasil mendirikan usaha Meatless Kingdom, sebuah usaha yang memproduksi produk olahan jamur, salah satunya adalah daging nabati berbasis jamur dan kedelai dengan berbagai bentuk. Dorongan semangat untuk membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain membuatnya tetap teguh dibalik masa-masa sulitnya mendirikan Meatless Kingdom.

Anak Sibolga yang Merantau di Kota Kembang

Widya Putra merupakan seorang pemuda yang berasal dari pantai barat pulau sumatera, tepatnya kota kecil bernama Sibolga di Sumatera Utara. Widya sapaan akrabnya menghabiskan waktu kecil sampai SMA nya disana. Orang tua Widya membuka usaha toko obat, hal itu pula yang membuat sedikit banyak Widya terpapar dengan wirausaha. Saat masa kuliah, Widya yang memang sedari SMA sangat suka Biologi memutuskan untuk melanjutkan di Institut Teknologi Bandung (ITB), Widya memilih SITH (Sekolah Ilmu Teknologi Hayati) sebagai tempat menimba ilmunya pada tahun 2008, “nah di Biologi, saya melihat bahwa mempelajari makhluk hidup itu sangat menarik, makanya saya memilih SITH (sekolah ilmu teknologi hayati) di ITB”, jelas Widya.

Setelah Widya mempelajari keilmuan di SITH, Widya menyadari ada prospek tersendiri pada mikrobiologi, disamping ilmu yang sangat luas, jurusan mikrobiologi saat itu juga bisa dibilang masih sangat terbatas, dan salah satunya yaitu berada di ITB. “Di mikrobiologi sendiri kita mempelajari makhluk hidup mikroskopis, seperti bakteri, virus, jamur. Dan yang menarik perhatian saya adalah jamur. Kenapa? Karena ternyata jamur itu kan banyak khasiatnya, khususnya jamur yang bisa dikonsumsi, kemudian juga rasanya yang enak teksturnya menyerupai daging”, terang pemuda yang berhasil menyelesaikan sarjananya pada 2012 itu.

Saat kuliah itu juga jiwa enterpreunershipnya semakin besar, “ada minat bahwa wah kita harus membuka lapangan pekerjaan juga gitu, jangan hanya kepikiran kerja sama orang lain. Karena banyak yang bilang 2045 Indonesia generasi emas, tapi kalau lapangan pekerjaannya terbatas juga kan banyak pengangguran. Jadi saya mencoba explore lah apa yang bisa dikerjakan dari bidang keilmuan saya”, kata Widya.

Angkatan Pertama Beasiswa LPDP

Salah satu inisiatif paling signifikan dari pemerintah Indonesia dalam pengembangan sumber daya manusia adalah program beasiswa LPDP. Program ini diresmikan pada tahun 2012. Widya merupakan salah satu angkatan pertama pada program beasiswa LPDP tersebut. Setelah lulus kuliah sarjananya, Widya memiliki dua sahabat dekat, salahs atunya merupakan calon dosen ITB. Pada 2013 salah satu temannya itu mengajak Widya untuk mengikuti seleksi beasiswa LPDP. Sebelumnya Widya belum tahu tentang LPDP karena memang baru di launching dan belum banyak info yang tersebar seperti saat ini. Bahkan pada masa itu LPDP yang aktif untuk mencari orang yang akan dibiayai ke beberapa universitas terkemuka di Indonesia, salah satunya yaitu ITB. Widya dan dua temannya kemudian apply beasiswa tersebut, “dan ternyata opportunity nya masih sangat besar, baru buka gitu dan saya jadi salah satu angkatan PK (Persiapan Keberangkatan) 1 gitu pada saat itu”, kenang Widya. Dari ratusan orang yang mendaftar, terpilihlah 60an orang yang nantinya akan diberangkatkan LPDP untuk melanjutkan studinya.

Awalnya Widya merasa bingung karena belum ada yang bisa ditanya bab persiapan yang harus dia lakukan dalam proses seleksi tersebut. Widya hanya berpedoman pada web LPDP sebagai dasar dia mempersiapkan proses seleksinya. Karena baru angkatan pertama, Widya merasa proses seleksinya pun cukup cepat, “menurut saya sih prosesnya cukup cepat gitu ya karena mungkin tidak begitu banyak juga yang tahu pada saat itu. Kemudian kita seleksi administrasi, kemudian dipanggil wawancara di Jakarta, kemudian ya sudah diumumkan lulus, ikutin PK. Jadi mungkin kalau nggak salah within satu setengah bulan atau 2 bulan sih sudah dapat gitu bahwa pengumuman kamu lolos LPDP”, terang Widya yang juga pernah menjadi asisten dosen saat berkuliah di ITB.

Dalam proses persiapan keberangkatannya Widya bersyukur sebagai angkatan pertama, banyak hal baru yang dia dapatkan, “tapi saya sangat bersyukur sih dengan adanya PK itu, pengalaman yang luar biasa juga bagi kami. Kalau di masa saya di PK1, kita dikasih kesempatan untuk naik kapal angkatan laut, nginep 3 hari kalau nggak salah. Ngerasain gimana sih tentara-tentara itu di lautan gitu ya tinggal di barak atau kamar mereka gitu. Nah itu satu pengalaman yang luar biasa gitu, sampai sekarang saya masih ingat juga gitu”, jelas pria berkacamata itu.

Bersekolah di Belanda

Setelah lulus sarjana Widya semakin mantap untuk berwirausaha, Widya melihat ada kesempatan di industri makanan. Menurutnya, industri makanan ini sangat krusial. Terbukti saat pandemi Covid-19 lalu, makanan merupakan salah satu usaha yang mampu survive karena merupakan kebutuhan pokok manusia. Namun saat itu Widya merasa masih membutuhkan pengetahuan tentang manajemen makanan sebelum merintis usahanya, oleh karena itu Widya memilih jurusan Food Quality Management spesialisasi Manajemen. “Nah kebetulan sebelum PK, saya sudah dapat 3 LoE (letter of acceptance). Satu itu dari Wageningen University, yang kedua itu dari Ghent University di Belgia, yang ketiga itu saya dapat dari University of New South Wales Australia. Cuma kan kebetulan ya tinggal cari beasiswanya. Dan pada akhirnya saya memutuskan untuk memilih Wageningen University dengan beasiswa LPDP”, terang Widya.

Ketika biasanya mahasiswa baru di luar negeri mengalami culture shock saat awal perkuliahan, menurut Widya, dia tidak terlalu terpengaruh. Walau Widya adalah angkatan pertama dari program LPDP tetapi ada beberapa seniornya yang sudah berada disana saat itu lewat program beasiswa lainnya. Hal itu sangat membantu Widya dalam beradaptasi. Bahkan menurutnya kuliah di ITB lebih sulit dibandingkan ketika Dia berkuliah di Wageningen, musabab banyaknya sks yang harus Dia ambil di ITB, selain itu adanya minggu tenang di Wegeningen University sebelum ujian menurut Widya sangat membantu mahasiswa untuk lebih siap dalam mempersiapkan ujiannya.

Bukan sebuah hambatan, namun ada hal yang menurutnya membutuhkan extra effort, yaitu tentang bahasa. Perkuliahan yang menggunakan bahasa Inggris dan beberapa istilah yang mungkin asing terdengar membuat Widya biasanya harus merekam kuliahnya untuk dia dengarkan kembali di tempat tinggalnya, “setiap kali kuliah (alat perekam) dinyalakan, nanti setelah kuliah ya di-copy dan sebagainya. Nanti dekat ujian, saya coba ingat lagi apa sih yang dia sampaikan, ujar Widya yang juga pernah menjabat sebagai Ketua PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Wageningen University. Widya bahkan mengingatkan jika sebenarnya orang Indonesia itu mampu untuk bersaing saat perkuliahan, hanya bahasa Ibu saja yang mungkin menjadi halangan dan itu masih bisa untuk lebih dikejar kembali, “biasanya seperti itu, kita yang rendah diri duluan kan. Setelah saya jalani ya, kalau kita pede ya sebenernya kita juga bisa kok”, tegas Widya yang berhasil lulus pada 2015 lalu.

Memulai Sebuah Bisnis

Setelah memperoleh gelar masternya, Widya bersama teman-teman yang sama-sama mendapatkan beasiswa LPDP di Belanda berinisiatif untuk membuat e-commerce produk organik, namun hal tersebut tidak berjalan lama dan harus terhenti di pertengahan 2016. Setelah beberapa waktu WIdya memutuskan untuk kembali ke Bandung untuk meneruskan mimpinya menjadi seorang wirausaha. Menjadi wirausaha memang sudah ada di benaknya sedari kuliah, bahkan ketika wawancara LPDP, entrepreneur adalah alasan kenapa Widya mengikuti seleksi tersebut.

Jamur menjadi pembuka mimpi Widya, brand pertama Widya yaitu Mushome mulai diperkenalkan. Produknya adalah mushroom kit, “jadi kit jamur untuk menanam sendiri di rumah. Tujuannya itu adalah untuk mengedukasi anak-anak khususnya agar mereka tahu gimana menanam dan menumbuhkan makanan mereka sendiri menggunakan serbuk gergaji karena jamur itu kan pakai serbuk gergaji”, terang Founder Mushome ini. Selain experience dari ilmu biologi, tentu saja nilai kehidupan juga diajarkan lewat mushroom kit ini. Yang disusul pada 2018 Mushome dengan produk baru mereka yaitu keripik jamur dan rumput laut.

Pada 2019, Widya mengembangkan brand keduanya yang diberi nama Meatless Kingdom, yaitu olahan daging nabati berbahan dasar jamur dan kedelai. Widya mengaku sudah familiar dengan produk daging nabati sejak remaja. Widya yang tumbuh di tengah komunitas agama Budha di kota terkecil di Indonesia itu (Sibolga), pada hari-hari tertentu hanya diperbolehkan makan makanan vegetarian, dan sebagian besar untuk produk daging nabati masih diimpor dari Malaysia, Taiwan, serta Cina. Widya berfikir kenapa tidak membuat produk lokal sendiri dari Indonesia dengan citarasa Indonesia, itulah awal mula dari Meatless Kingdom. “Karena di masa itu, saya ya makannya kayak daging-dagingan yang mereka olah lebih taste Chinese food mungkin ya. Yang saya lihat ini ada potensi ini untuk localize rasanya dan ada potensi ekspor bahkan”, jelas CEO Meatless Kingdom ini.

Sebagai seseorang yang merintis bisnisnya dari nol, Widya mengaku tidak mudah mengembangkan usahanya. Mulai dari mencari petani jamur pada awal usaha untuk dijadikan rekanan, hingga dia mencoba untuk bertani jamur sendiri, semua itu menurutnya punya tantangan tersendiri. “Kita sebutnya kayak media tanam itu baglog. Nah saya bawa sendiri (media tanam), saya bawa misal pakai motor, kiri-kanan orang (seperti) bawa sayur ke pasar. Itu kiri-kanan saya bawa sendiri, naik dari tempat saya ngontrak ke Lembang setengah jam (saat) pagi, nanti siang-sore pulang”, kenang Widya saat itu. “Saya pernah bertanya gitu “Apa sih yang saya cari?” Oh lulusan S2 mah pasti kalau cari ke corporate besar multinasional sih kayaknya, sudah di posisi yang cukup nyaman gitu ya. Tapi kok saya mau ya untuk jalan kayak gini, angkat berat gitu. Tapi saya kuatkan diri lagi bahwa  saya yakini ini proses yang harus dilalui untuk membuat saya berkembang sebagai pribadi dan juga berkembang nanti sebagai bisnis”, sambungnya.

Kerajaan Jamur

Saat ini Mushome dan Meatless Kingdom sudah terdapat di 240 store di seluruh Indonesia dan selain itu juga sudah diekspor ke beberapa negara seperti Singapura, Belanda dan Hongkong. Selain di toko fisik, pemasarannya juga dilakukan secara daring lewat e-commerce. Widya juga saat ini telah memiliki 20 orang karyawan dan 8 orang anak magang yang membantunya. Meatless Kingdom sekarang tersedia berbagai bentuk dan rasa seperti rendang, gepuk, dendeng pedas, manis hingga dendeng asap. Menurut Widya awareness tentang makanan produk olahan nabati sudah mulai tumbuh di Indonesia namun memang belum sebesar di luar negeri, “trend-nya udah ke arah sini gitu karena mungkin didorong Covid juga gitu ya. Orang mulai cari healthy option misal mereka mengurangi makan daging karena berbagai alasan kesehatan, seperti kolesterol, diabetes. Dan mereka coba mengubah pola hidupnya menjadi lebih banyak makan sayur ya” jelas food pack enterpreneur ini.

Terbaru, Meatless Kingdom mendapatkan kesempatan menjadi salah satu startup yang mengikuti pameran Global Startup Challenge. Mereka terpilih dari ratusan startup yang mendaftar dari Indonesia, Singapura, dan Vietnam. “Dari puluhan atau ratusan startup, terpilihlah 7 startup yang ikut akseleratornya. Nah itu akseleratornya kurang lebih 1,5 bulan. Kemudian di akhir akselerator, kita harus pitching demo day, kemudian dipilih 3 terbaik. 3 terbaik ini dikasih benefit adalah untuk pameran gratis di Singapura, salah satunya Meatless Kingdom”, terang Widya yang juga pernah meraih 1st Winner Scale It Up! Challenge Asia Pacific tahun 2023 dan product of the year tahun 2021, serta banyak penghargaan lainnya.

Tantangan terbesar yang Widya hadapi saat ini menurutnya adalah membawa awareness terhadap plant based meat ini atau produk-produk olahan jamur ini ke lebih banyak masyarakat. “Sebenarnya juga kita bukan berniat agar semua orang berubah menjadi vegan atau vegetarian, ini hanya sebagai opsi gitu ketika mereka udah mulai concern kesehatan, udah bosen juga makan daging misal, ini salah satu opsi bagi mereka”, jelas Widya. Widya masih mempunyai mimpi untuk lebih membesarkan lagi usahanya, bisa menambah ekspor, serta membuka lebih banyak lapangan pekerjaan dan berkontribusi pada perekonomian negara. “Kemudian yang selanjutnya produk-produk kami bisa menjadi salah satunya solusi stunting karena ternyata di Indonesia stunting bagi anak-anak juga masih sangat besar gitu. Itulah makanya kita terus mengembangkan produk-produk yang bisa harganya affordable, harganya murah, tapi juga menjangkau masalah-masalah krusial di Indonesia”, kata Widya.

Jangan Hanya Menjadi Kupu-Kupu

Widya mengaku sangat beruntung bisa merasakan beasiswa LPDP. Beasiswa dengan komunitas terbesar di Indonesia, all over the world, menurutnya akan sangat berguna dalam menambah teman dan relasi, “One day mungkin pemimpin-pemimpin masa depan gitu pejabat, mayoritas akan di-lead oleh alumni-alumni LPDP mungkin ya, baik di sektor BUMN, pemerintah gitu. Dan one day mungkin ya koneksi itulah yang membuat kita lebih cair”, jelas Widya dengan senyum khasnya. Menurutnya akan lebih baik jika diadakan satu program untuk alumni-alumni agar bisa diberdayakan bersama, “Sekarang ya udah scattered, setelah pulang ya udah masing-masing sesuai dengan bidangnya masing-masing dan akan ketemu mungkin by accident doang. Tapi kalau kita bisa kumpulin ini di satu pos-pos masing-masing, ini wah impact-nya besar banget”, imbuhnya.

Untuk teman-teman yang sedang berkuliah baik itu dimanapun berada, WIdya mengingatkan untuk tidak hanya fokus di perkuliahan saja, namun juga perlu untuk mencari aktivitas atau kegiatan lain yang dapat meningkatkan keahlian dan menambah networking. “Maksudnya nggak kayak kupu-kupu (kuliah pulang kuliah pulang), tapi social skills yang juga harus dikembangkan sehingga nanti yang penting kan setelah kita selesai (kuliah) juga kan itu network yang penting” pungkas Widya.